Rabu, 26 September 2012

PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DALAM KERANGKA PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT


1.    Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat
a)      Definisi, dan tujuan pendidikan sepanjang hayat
Pengertian pendidikan sepanjang hayat dan belajar sepanjang hayat secara konsep saling mengisi dan tidak terpisahkan satu sama lain. Knapper & Kropley memberikan definisi sebagai berikut : “Lifelong education has been defined as a set of organisational, administrative, metodological, and procedural measures” dan “Lifelong learning describes the habit of continuously learning throughout life, a mode of behavior” Menurut Sutaryat dalam Hand out: Pendidikan sepanjang hayat mengacu pada serangkaian faktor-faktor ekstrinsik, berorientasi penyediaan (suply) dengan mengidentifikasi kebutuhan (the needs) dan penyediaan peralatan (the means).
Sedangkan belajar sepanjang hayat bersifat intrinsik, berorientasi permintaan dan sangat bergantung kepada motivasi dan kemampuan individu pembelajar.
Tujuan pendidikan sepanjang hayat adalah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, yaitu bahwa individu-individu dalam masyarakat dapat belajar dan semestinya terus belajar dan secara berkesinambungan berupaya mengikis kebodohan dan fatalisme.
 

ETIKA PROFESI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH


A.  Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah
1.    Pengertian Etika dan Profesi
Etika menurut Maryani & Ludigdo (2009 : 1) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi” Profesi merupakan suatu pernyataan atau suatu janji terbuka (to profess artinya menyatakan), yang menyatakan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
Profesi sudah cukup jelas diterangkan pada bab sebelumnya. Pada bab ini penulis akan  menguraikan lebih jelas tentang Pendidikan Luar Sekolah, yang sebenarnya banyak sekali cakupan Pendidikan Luar Sekolah disekitar kita. Jadi etika profesi yaitu seperangkat aturan yang mengatur tingkah laku individu anggota profesi dalam mengabdikan diri pada sebuah jabatan.
2.    Pendidikan Luar Sekolah
Undang - Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi kursus/lembaga pendidikan ketrampilan dan satuan pendidikan yang sejenis.
Pendidikan Luar Sekolah adalah bentuk yang paling asli yang telah ada sejak dahulu. Pendidikan Luar Sekolah (PLS) berkembang dari pendidikan tradisional yang biasanya berakar dalam kegiatan agama dan tradisi yang dianut oleh warga masyarakat. Kegiatan tersebut merentang dari kegiatan yang sederhana sampai dengan yang kompleks (seperti, upacara tradisional atau upacara adat yang dilakukan dalam kelompok besar).
a.       Pengertian Pendidikan Luar Sekolah
             Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan luar sekolah dikenal dengan istilah pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Menurut Suparjo Adikusumo dalam Yoyoh (2000:) mengatakan bahwa: Pendidikan Luar Sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan untuk mengembangkan tingkat keterampilan, sikap-sikap dan nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya bahkan masyarakat dan warganya.
Definisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat berbagai tingkat usia dengan berbagai macam kebutuhannya dalam pendidikan luar sekolah. Tujuannya untuk mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai, serta membantu individu untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
Sedangkan Philip Coomb dalam Sutaryat (1992: 56) menyatakan bahwa: Pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Dari pendapat di atas, pendidikan luar sekolah memiliki kegiatan yang terorganisasi dan bertujuan untuk melayani anak didik atau warga belajar dalam mencapai tujuan belajarnya. Selanjutnya, D. Sudjana (1992: 1) memberikan definisi pendidikan luar sekolah sebagai berikut: Pendidikan luar sekolah adalah setiap usaha pelayanan pendidikan yang dilakukan secara sengaja, teratur, dan berencana di luar sistem sekolah, berlangsung sepanjang umur, yang bertujuan untuk mengaktualisasikan potensi manusia sehingga terwujud manusia yang gemar belajar dan membelajarkan, maupun meningkatkan taraf hidup berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah mempunyai beberapa unsurei, yaitu: proses, program, aktivitas, tujuan, dan sasaran. Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang dilakukan dengan sadar tetapi tidak terlalu terikat oleh peraturan yang ketat seperti layaknya pendidikan di sekolah.
b.      Tujuan Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 pasal 2, serta pernyataan dari beberapa definisi pendidikan luar sekolah, maka dapat disarikan kesimpulan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah:
1)      Melayani.
2)      Membina.
3)      Memenuhi kebutuhan.
4)      Mengembangkan tingkat keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya bahkan masyarakat dan negaranya.
5)      Mengaktualisasikan potensi manusia sehingga terwujud manusia yang gemar belajar dan membelajarkan, maupun meningkatkan taraf hidup berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat.

c.       Fungsi Pendidikan Luar Sekolah
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, dalam UU No. 20 Thn.2003, pasal 26 ayat 4, bahwa pendidikan nonformal berfungsi sebagai pelengkap, penambah, dan pengganti pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Terdapat tiga fungsi pendidikan luar sekolah, yaitu:
1)      Sebagai Pelengkap (Complementary Education)
Berfungsi untuk melengkapi kemampuan peserta didik dengan jalan memberikan belajar yang tidak diperoleh dalam kurikulum pendidikan luar sekolah. Tipe pendidikan ini adalah untuk menyempurnakan atau melengkapi pendidikan sekolah. Sasaran anak didiknya adalah murid-murid yang mengikuti jenjang pendidikan sekolah. Pengorganisasian program didasarkan atas kebutuhan peserta dan kebutuhan masyarakat. Pengelola program adalah pihak sekolah yang bekerjasama dengan masyarakat.

2)      Sebagai Penambah (Suplementary Education)
Berfungsi untuk menyediakan kesempatan bagi siswa suatu jenjang pendidikan sekolah yang membutuhkan kesempatan belajar guna memperdalam pemahaman dan penguasaan materi pelajaran, mereka telah menamatkan jenjang pendidikan sekolah tetapi masih memerlukan pelayanan pendidikan yang dapat memperluas materi pelajaran yang telah diperoleh, atau bagi mereka yang putus sekolah dan mempunyai kebutuhan belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dan keterampilan yang berkaitan dengan dunia kerja. Isi pelajaran biasanya dihubungkan dengan situasi praktis dan melibatkan pelajar dalam mengembangkan keterampilan secara langsung akan diaplikasikan dalam situasi kehidupan mereka.

3)      Sebagai Pengganti (Substitution Education)
Program-program yang dilaksanakan adalah untuk melayani anak atau orang dewasa yang karena berbagai hal tidak memasuki pendidikan sekolah. Isi program biasanya cerderung terpusat pada keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, serta pengetahuan umum yang praktis dan sederhana. Keuntungan program PLS sebagai pengganti ini adalah programnya ela menjangkau masyarakat yang lebih luas, penyelenggaraannya singkat, dan biaya pendidikan relative lebih murah.

d.      Sasaran Pendidikan Luar Sekolah
         Sasaran pendidikan luar sekolah tidak terlepas dari sasaran pendidikan nasional, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal ayat, yang berbunyi sebagai berikut:  “Setiap warga negara harus memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya lewat fasilitas pendidikan dan latihan yang telah tersedia”.
Menurut Sutaryat (2009: 1) menggolongkan sasaran PLS ditinjau dari segi: usia, lingkungan sosial budaya, golongan suku terasing, golongan ekonomi lemah, jenis kelamin, golongan mata pencaharian, taraf pendidikan, dan kelompok khusus. Sasaran pendidikan luar sekolah meliputi seluruh warga masyarakat yang membutuhkan pendidikan karena berbagai hal tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah. Pendidikan luar sekolah mengklasifikasikan pendidikan yang meliputi: warga masyarakat yang buta huruf, warga masyarakat putus sekolah antar jenjang lulus sekolah tidak melanjutkan, mereka yang sudah bekerja ingin meningkatkan keterampilan untuk jenjang karir.
e.       Asas-Asas Pendidikan Luar Sekolah
Asas-asas pendidikan luar sekolah meliputi: asas inovasi, penentuan dan perumusan tujuan pendidikan, kebutuhan, pendidikan sepanjang hayat, dan relevansi pengembangan masyarakat (Sutaryat, 2008: 1).
1)      Asas inovasi: penyelenggaraan dan pengembangan program pendidikan luar sekolah ke arah perubahan yang positif karena ditemukan ide, gagasan atau cara bekerja yang dianggap baru oleh orang yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi atau untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
2)      Asas penentuan dan perumusan tujuan pendididkan: pendidikan luar sekolah bertujuan untuk menentukan apa yang harus dipenuhi, sikap dan jenis tingkatan keterampilan yang dikuasai lulusannya. Perumusan tujuan yang baik dalam setiap jenis pendidikan akan mengarah pada pencapaian program yang optimal.
3)      Asas kebutuhan: setiap kegiatan yang dilakukan berdasarkan atas kebutuhan yang disarankan oleh warga belajar (masyarakat).
4)      Asas pendidikan sepanjang hayat: kesempatan yang diberikan kepada setiap warga belajar tidak terbatas oleh waktu dan usia, dan diarahkan pada upaya untuk menumbuhkan masyarakat yang gemar belajar (learning society). Adanya masyarakat yang gemar belajar akan menjadi ciri tumbuhnya masyarakat terdidik (educated society).
5)      Asas relevansi: program pendidikan luar sekolah hendaknya dapat berperan untuk:
a)      Menumbuhkankan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mereka membebaskan diri dari kebodohan.
b)      Membantu masyarakat supaya bisa hidup berorganisasi untuk mempelajari keadaan hidupnya.
c)      Masyarakat dapat memecahkan masalah sosial ekonomi yang dihadapainya.
f.       Ciri-Ciri Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan penjelasan Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 tentang PLS dan ditambah dengan pendapat Zulkarnaen dan Pujiwati dalam kumpulan konvensi nasional (2008: 1), ciri-ciri pendidikan luar sekolah adalah sebagai berikut:
1)      Pendidikan luar sekolah memiliki keleluasaan yang besar untuk secara cepat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah.
2)      Pendidikan luar sekolah merupakan jembatan antara pendidikan sekolah dan dunia kerja.
3)      Penyelenggaraan kegiatan pendidikan luar sekolah pada umumnya tidak terpusat, lebih terbuka dalam penerimaan peserta didik dan tidak terikat pada aturan yang ketat.
4)      Menjawab kebutuhan warga belajar atau masyarakat pada waktu dan situasi tertentu.
5)      Waktu penyelenggaraan yang relatif pendek/singkat.
6)      Organisasi penyelenggaraan relatif pendek dan tidak permanen.
7)      Berorientasi pada pengetahuan dan keterampilan praktis.
8)      Warga belajarnya mempunyai latar belakang yang beraneka ragam.
9)      Pada umumnya tidak memberikan sertifikat yang mempunyai efek/pengaruh.




g.      Komponen Pendidikan Luar Sekolah
            Pendidikan Luar Sekolah memiliki komponen yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan sekolah, perbedaan komponennya, terutama pada program pendidikan yang terkait dengan dunia kerja, dunia usaha dan program yang diintegrasikan ke dalam gerakan pembangunan masyarakat (intergrated community development), ialah adanya dua komponen tambahan yaitu masukan lain (other input) dan pengaruh (out come/impact)

Sabtu, 15 September 2012

KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA


BAB I
PENDAHULUAN

Ajaran agama mengandung nilai moral dan prilaku yang melahirkan konsekuensi pada pada pemeluknya untuk pengamalan nilai moral. Nilai moral tersebut ke dalam prilaku keseharian. Namun tidak semua individu yang memilki kematangan beragama yang berpeluang untuk mengwujudkannya. Salah satu ciri pribadi yang matang beragama dittandai dengan dimilikinya konsisten antara nilai moral.  Moral agama yang tertanam dalam diri individu dengan perilaku keseharian yang dimunculkan.
Dengan bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu apabila individu matang dalam beragamanya, maka indivi tersebut akan konsisiten dalam ajaran agamanya. Konsisten ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh lagi, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan mampu mengintegrasikan atau menyatukan ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan.
Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong umat untuk berprilaku sesui dengan ajaran agamanya dalam setiap sisi kehidupan. Begitu pula dengan masyarakat indonesia yang merupakan masyarakat yang memiliki landasan keberagamaan yang kental.
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajarannya. Untuk menambah wawasan kita pada mata kuliah psikologi agama,  maka dalam makalah ini kami akan  membahas tentang kriteria orang yang matang dalam bergama.









BAB II
PEMBAHAHASAN

A.  Kriteria Orang Yang Matang Beragama
Kematangan beragama adalah kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam berikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan bergama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kematangan beragama atau kedewasaan seseorang dalam bergama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama tersebut dalam hidupnya.
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. sebaliknya, perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitasi). Pencapaian tingkat abilitasi tertentu bagi perkembangan rohani biasa disebut dengan istilah kematangan (maturity). Berdasarkan ilmu psikologi agama, latar belakang psikologis baik diperoleh berdasarkan faktor intern maupun hasil pengaruh lingkungan memberi ciri pada pola tingkah laku dan sikap seorang dalam bertindak.
Dengan demikian, Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Dalam buku The varieties of religious experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:

PENDEKATAN KONSELING CLIENT CENTERED DAN GESTAL



A.    KONSELING CLIENT CENTERED
Penggagas pendekatan client centered yang pertama adalah Carl R.ogers. Pendekatan ini sebagi reaksi dari pendekatan psikoanalisis. Pendekatan Client Centered merupakan cabang dari paham umanistik. Pendekatan ini menaruh kepercayaan bahwa client memiliki kesanggupan untuk memecahkan masalahnya sendiri. Hubungan terapis dan client merupakan alat untuk meningkatkan kesadaran dan menemukan sumber-sumber yang terpendam yang kemudian membangun konstruksi dalam pengubahan hidupnya.

1.      Konsep Dasar
a.      Pandangan Tentang Sifat Manusia
Manusia dalam pandangan Rogers adalah bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki dorongan untuk selalu bergerak ke muka, berjuang untuk berfungsi, kooperatif, konstrukstif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya. Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dalam praktek terapi client centered dimana terapis meletakan tanggung jawab proses terapi pada client, bukan terapis yang memiliki otoritas. Client diposisikan untuk memiliki kesnggupan-kesangguapan dalam membuat keputusan.
Menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:300) mengatakan bahwa Melalui Pendekatan ini klien diberi kesempatan untuk menemukan persoalan, pikiran-pikirannya secara bebas. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi karena oleh suatu hambatan, potensi dan kemampuan itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya. Bertitik tolak dari anggapan dan pandangan tersebut, inisiatif dan peranan masalah diletakkan di pundak klien sendiri, sedangkan kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri klien berkembang secara optimal. Dengan cara menciptakan hubungan yang hangat dan permisif.

b.      Karakteristik Terapi Client Centered
ü  Fokus utama adalah kemampuan individu memecahkan masalah bukan terpecahnya masalah.
ü  Lebih mengutamakan sasaran perasaan dari pada intelek.
ü  Masa kini lebih banyak diperhatikan dari pada masa lalu.
ü  Pertumbuhan emosional terjadi dalam hubungan konseling.
ü  Proses terapi merupakan penyerasian antara gambaran diri klien dengan keadaan dan pengalaman diri yang sesungguhnya.
ü  Hubungan konselor dan klien merupakan situasi pengalaman terapeutik yang berkembang menuju kepada kepribadian klien yang integral dan mandiri.
ü  Klien memegang peranan aktif dalam konseling sedangkan konselor bersifat pasif reflektif.

2.      Prinsip-Prinsip dalam Terapi Client Centered
  1. Kita berperilaku sesuai dengan persepsi kita terhadap realitas. Berkaitan dengan hal ini, untuk memahami masalah klien, maka kita harus benar-benar memahami bagaimana ia mempersepsikannya.
  2. Kita termotivasi oleh dorongan primer bawaan lahir yang berupa dorongan untuk mengaktualisasikan diri. Secara otomatis individu akan mengembangkan potensinya dalam kondisi-kondisi yang mendukung. Kondisi-kondisi ini dapat diciptakan dalam terapi dan oleh karena itu, terapis harus bersikap nondirektif.
  3. Individu memiliki kebutuhan dasar akan cinta dan penerimaan. Dalam terapi, hal ini diterjemahkan sebagai adanya kebutuhan untuk fokus pada hubungan (antara terapis dan klien-red) dan pengkomunikasian empati, sikap menghargai, dan ketulusan dari terapis.
  4. Konsep diri individu bergantung pada penerimaan dan penghargaan yang ia terima dari orang lain. Konsep diri klien dapat ia ubah apabila ia mengalami penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) dalam terapi.

3.      Tujuan Terapi Client Centered
a.      Keterbukaan pada Pengalaman
Sebagai lawan dari kebertahanan, keterbukaan pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.



b.      Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Dengan meningknya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun muali timbul.
c.       Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya dari pada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari dirinya sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d.      Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri sebagai produk. Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula guna membangun keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi sadar bahwa peretumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.

  1. Peranan konselor Dalam Terapi Client Centered
a.          Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan konseling, tetapi dilakukan sendiri oleh klien.
b.         Arah pembicaraan ditentukan oleh klien.
c.          Konselor menerima klien dengan sepenuhnya dalam keadaan apa adanya.
d.         Konselor memberikan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Menurut Rogers seorang konselor harus memiliki syarat:
a.       Memiliki sensitifitas dalam hubungan insani.
b.      Memiliki sikap yang obyektif.
c.       Menghormat kemuliaan orang lain.
d.      Memahami diri sendiri.
e.       Bebas dari prasangka dan kompleks-kompleks dalam dirinya.
f.       Sanggup masuk dalam dunia klien (empati) secara simpatik.

  1. Teknik-Teknik Konseling dalam Terapi Client Centered
Terapi Client Centered menempatkan tanggungjawab tidak pada konselor tetapi pada klien. Maka teknik-teknik konselingnyas adalah sebagai berikut:
a.       Acceptance (penerimaan)
b.      Respect (rasa hormat)
c.       Understanding (mengerti, memahami)
d.      Reassurance (Menentramkan hati, meyakinkan)
e.       Encouragement (dorongan).
f.       Limited Questioning (pertanyaan terbatas)
g.      Reflection (memantulkan pertanyaan dan perasaan).

  1. Penerapan Terapi Client Centered di Sekolah : Proses Belajar Mengajar
Filsafat yang mendasari teori client centered memiliki penerapan langsung pada proses belajar. Seperti pandangannya terhadap terapis dan client, guru berperan sebagai alat yang menciptakan atmosfer yang positif dan siswa dipandang sebagai manusi yang dapat bertanggungjawab dan menemukan masalah-masalah yang penting yang berkaitan dengan keberadaan dirinya. Siswa bisa terlibat dalam kegiatan belajar bermakna, jika guru menciptakan iklim kebebasan dan kepercayaan. Fungsi guru seperti yang dijalankan terapis : kesejatian, ketulusan, keterbukaan, penerimaan, pengertian, empati dan kesediaan untuk membiarkan para siswa untuk mengeksplorasi materi yang bermakna menciptakan atmosfer dimana kegiatan belajar yang signifikan bisa berjalan.

  1. KONSELING GESTALT
Teori Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls. Gestalt dalam bahasa Jerman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (Schultz, 1991). Lebih lanjut, Simkin (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configuration). Dengan demikian Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian-bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh. Integrasi ini merupakan hal penting dan menjadi fungsi dasar bagi manusia.


1.      Konsep Dasar
a.      Pandangan Tentang Sifat Manusia
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi sebagai berikut,
1.        manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan.
2.        seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya,
3.        seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor,
4.        seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi, dan persepsinya,
5.        seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya,
6.        seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif,
7.        seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini, dan
8.        seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain percaya pada kemampuan sendiri, bertanggungjawab, memiliki kematangan, memiliki keseimbangan diri. Sebagai orang yang pernah mempelajari teori psikoanalisa (walaupun ditolaknya) Frankl menunjukkan bahwa orang-orang tidak sehat memiliki ciri-ciri sebagaimana yang disebutkan oleh teori psikoanalisa sebagai deffense mechanism.
Perilaku menyimpang pada manusia seringkali tidak disadari oleh seseorang, atau bahkan dia menolak bahwa mereka memiliki masalah. Dengan demikian, tujuan konseling dalam keonseling Gestalt adalah reowning. Pengakuan (menyadari) bahwa satu-satunya kenyataan yang kita miliki ialah kenyataan saat ini, orang serupa itu tidak melihat kebelakang atau ke depan untuk menemukan arti atau maksud dalam kehidupan (Schultz, 1991).
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu, konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh” (fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan konseling
Pengikut Gestalt selalu mempergunakan kata tanya “Apa/What” dan “Bagaimana/How”. Mereka menjauhi pertanyaan “Mengapa/Why”. Hal ini dikarenakan pertanyaan mengapa mempunyai kecenderungan untuk mengetahui alasan klien. Jika hal ini dilakukan, maka secara tidak langsung konselor telah mengajak klien untuk kembali ke masa lalunya. Selain itu, pertanyaan mengapa akan mengarahkan klien untuk berbuat rasionalisasi dan mengadakan penipuan diri (self-deception) serta lari dari kenyataan yang terjadi saat ini. Lari dari kenyataan yang terjadi saat ini akanmembuat klien mandeg atau stagnasi.
b.      Tujuan-Tujuan Terapi Gestalt
            Terapi Gestalt memiliki sasaran penting yang berbeda. Sasaran dasarnya adalah menantang Client agar perpindah dari di dukung oleh lingkungan kepada diri sendiri. Sasaran terapi ini menjadikan pasient tidak bergantung pada orang lain, menjadikan pasient menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal, lebih banyak dari pada yang dikiranya. Tujuan terapi Gestalt bukanlah penyesuaian terhadap masyarakat. Menurut Perls, kita bisa memilih menjadi bagian dari ketidak sehatan kolektif dan atau menghadapi resiko menjadi sehat. Tujuan utama terapi adalah membantu klien agar menjalani hidup lebih penuh  dan membantu klien agar menemukan pusat dirinya.
            Sementara sasaran utama terapi gestalt adalah pencapaian kesadaran-kesadran pada diri sendiri, di pandang kuratif tanpa kesadaaran, klien tidak memilki alat untuk mengubah kepribadiannya. Dengan kesadaran klien memiliki kesanggupan untuk menghadapi dan menerima bagian-bagiab keberadaan yang di ingkarinya serta untuk berhubungan dengan pengalaman-pengalaman subjektif dengan kenyataan klien bisa menjadi satu kesatuan dan menyeluruh.

  1. Fungsi dan Peran Terapis
            Terapi Gestalt difokuskan pada perasan klien, kesadaran atas saat sekarang, Pesan-pesan tubuh, dan penghambat-penghambat kesadaran. Ajaran Perls adalah kosongkan pikiran anda capailah kesadaran. Polster dan Polster sependapat sependapat dengan Perls. Mereka menyatakan penafsiran-penafsiran dan diagnosis-diagnosis yang cerdik tidak diperlikan. Yang penting adalah menciptakan iklim dumana klien membengitkan proses-proses perkembngan sendiri serta menjadi lebih focus  pada pengubahan kesadaranya dari waktu kewaktu. Polster dan Polster juga menganjurkan kepada para terapis untuk menggunakan pengalamannya sendiri sebagai bahan yang esensial dalam proses terapi.
            Sedangkan menurut Perls, mengemukakan bahwa cara untuk menghindari manipulasi yang mungkin dilakukan klien membiarkan klien menemukan terapis sebagai “Layar Proyeksi”  dan memandang terapis sebagai pemberi apa-apa yang hilang dari dirinya. Menurut Perls tugas terapis adalah menyajikan situasi yang menunjang pertumbuhan dengan jalan mengonfrontasikan klien kepada titik tempat dia menghadapi suatu putusan apakah akan atau tidak mengembangkan potensi-potensinya.
            Satu fungsi yang terpenting dari terapis Gestalt adalah memberikan perhatian pada bahasa tubuh Client-nya. Isyarat-isyarat nonverbal dari Client menghasilkan informamsi yang kaya bagi terapis, sebab isyarat-isyarat itu sering menghianati perasaan-perasaan Client yang Client sendiri tidak menyadarinya.

  1. Prinsip Teori Gestalt
ü  Saat Ini (The Now)
Dalam pendekatan Gestalt, situasi saat ini merupakan hal yang sangat penting (the most significant tense). Sehingga dalam proses konseling, konseli akan diajak untuk belajar mengapresiasi dan mengalami secara penuh keadaan saat ini. Gestalt tidak akan mencari tahu apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi lebih pada mendorong konseli untuk membicarakan saat ini. Pemusatan pada masa lalu akan menjadi jalan bagi konseli untuk menghindari masalahnya. Joel dan Edwin (1992) menyatakan ”What does this mean, "present centered"? In essence, it means that what is important is what is actual, not what is potential or what is past, but what is here, now”.
Untuk membantu konseli memahami keadaan saat ini, maka konselor dapat membantu dengan memberikan kata tanya “Apa” dan “Bagaimana”, dengan demikian, kata tanya “Mengapa” adalah kata tanya yang sangat jarang dipergunakan (Zimberoff dan Hartman, 2003). Bahkan, seringkali konselor memotong pembicaraan konseli, jika konseli mulai berkutat dengan masa lalunya. Konselor akan memotong pembicaraan konseli dengan pernyataan seperti, ”Apa yang kamu rasakan pada saat kakimu bergoyang saat bicara?’ atau ”Dapatkah kamu merasakan tekanan suaramu? Tidakkah kamu merasa ketakutan?” Usaha konselor ini adalah untuk mengembalikan kesadaran konseli saat ini.
Konselor Gestalt meyakini bahwa pengalaman masa lalu, seringkali mempengaruhi keadaan konseli saat ini, terlebih jika pengalaman masa lalu memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian atau masalah yang dimiliki oleh konseli. Di lain pihak, karena (mungkin) ketakutannya untuk menyelesaikan masalah, maka konseli cenderun untuk secara terus menerus membicarakan masa lalunya. Untuk mengatasi masalah ini, maka konselor dapat mengajak konseli untuk kembali ke saat ini dengan cara “membawa fantasinya ke saat ini” dan mencoba untuk mengajak konseli untuk melepaskan keinginannya. Sebagai contoh, seorang anak memiliki trauma dengan perilaku ayahnya. Konselor tidak mengajak konseli untuk membicarakan apa yang telah terjadi, tetapi lebih mengajak konseli untuk merasakan saat ini dan berorientasi pada pada apa yang ingin dilakukan (semisal, berbicara dengan ayahnya).

ü  Urusan yang Belum Selesai (Unfinished Bussines)
Individu seringkali mengalami masalah dengan orang lain di masa lalu. Menurut Gestalt, masalah masa lalu yang belum terselesaikan atau terpecahkan disebut dengan Unfinished Bussiness yang dapat dimanifestasikan dengan munculnya kemarahan (resentment), amukan (rage), kebencian (hatred), rasa sakit (pain), cemas (anxiety), duka cita (grief), rasa bersalah (guild) dan perilaku menunda (abandonment).
Polster menyatakan bahwa beberapa bentuk perilaku akibat unfinished bussines adalah seseorang akan asyik dengan dirinya sendiri, memaksa orang lain untuk menuruti kehendaknya, bentuk-bentuk perilaku yang menempatkan dirinya sebagai orang kalah, bahkan seringkali muncul simptom-simptom penyakit fisik.
            Sebagai contoh ada seorang mahasiswa yang menganggap bahwa semua perempuan itu tidak baik. Perilaku mahasiswa ini cenderung untuk menjauhi perempuan. Diketahui bahwa masa lalu mahasiswa ini mengalami perlakuan yang buruk dari ibunya sewaktu berusia sekolah dasar (unfinished bussines). Pendekatan Gestalt tidak berorientasi pada masa lalu atau berusaha untuk mengorek perilaku orang tua yang menyebabkan dia berperilaku menjauhi perempuan. Sebab, jika itu dilakukan, maka mahasiswa ini akan berusaha untuk meraih masa lalunya yang hilang, dan dia akan berpikir menjadi anak kecil. Ini adalah proses yang tidak produktif. Konselor Gestalt akan berusaha untuk membantu mahasiswa ini merasakan apa yang terjadi saat ini. Konselor akan menfasilitasi mahasiswa ini untuk menunjukkan situasi yang terjadi saat ini. Mahasiswa dibantu untuk menyadari bahwa perilakunya tidak produktif dan kemudian mencari perilaku-perilaku yang lebih produktif.


ü  Contact & Resisstance to Contact
            Hal terpenting dalam kehidupan manusia adalah malakukan kontak atau bertemu dengan orang lain di sekitar. Kirchner (2008) menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk melakukan kontak secara efektif dengan orang lain, dengan kemampuan itu, maka individu akan dapat bertahan hidup dan tumbuh semakin matang. Semua kontak yang dilakukan oleh individu memiliki keunikan sendiri-sendiri yang berujung pada bagaimana individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Perls menyatakan bahwa proses kontak dilakukan dengan cara melihat, mendengar, membau, meraba dan pergerakan. Lebih lanjut, Gestalt Institute of Cleveland (dalam Krichner, 2000) menunjukkan bahwa proses kontak terjadi karena tujuh tingkatan yaitu (a) sensation, (b) awareness, (c) mobilization of energy, (d) action, (e) contact, (f) resolution and closure, dan (7) withdrawal.
Proses kontak individu dengan individu lain seringkali mengalami masalah. Masalah ini seringkali muncul karena konseli cenderung untuk menghindari kontak dengan keadaan saat ini dan orang lain. Krichner (2000) menyatakan ada empat hal yang menjadi masalah konseli yaitu confluence, introjection, projection, dan retroflection
ü  Energy & Blocks to Energy
            Pendekatan Gestalt memperhatikan energy yang dimiliki oleh individu. Dimana teori ini berkeyakinan bahwa untuk bisa menyelesaikan masalahnya, maka seseorang akan mengeluarkan energy. Penutupan energy ini akan tampak pada keadaan fisik seseorang. Seseorang yang tidak bisa mengeluarkan energinya, seringkali ditampakkan dengan perilaku non verbal seperti, bernapas pendek-pendek, tidak focus dengan lawan bicara, berbicara dengan suara tertahan, perhatian yang minimal terhadap sebuah obyek, duduk dengan kaki tertutup, posisi duduk yang cenderung menjauhi lawan bicara dan lain sebagainya. Sebagai contoh, seseorang yang pada saat ini ingin marah, tetapi tertahan, maka tubuhnya akan mereaksi penahaman marah (sebagai upaya pelepasan energy) dengan bentuk-bentuk seperti napas tersengal-sengal.
            Dalam proses konseling, konselor berusaha untuk membantu kondisi pelepasan energy yang dimiliki oleh konseli. Pada awalnya konseli diajak untuk mengenal perasaannya saat ini, dan kemudian membantu untuk melepaskan energi yang tertahan tersebut.

  1. Teknis-Teknis Terapi Gestalt
ü  Permainan Dialog
            salah satu tujuan dari terapi Gestalt adalah mengusahakan fungsi yang terpadu dan penerimaan atas aspek-aspek kepribadian yang di coba dibuwang diingkari, terapi Gestal menaruh perhatian yang besar pada pemisahan dalam fungsi kpribadian. Teknis permainan dialog dapat di gunakan, baik dalam konseling indivdu maupun konseling kelomok. Dialog antara kedua kecendrungan yang berlawanan memiliki sasaran taraf integrasi polaritas-polaritas dan konflik-konflik pada seseorang kepada taraf yang lebih tinggi. Dengan sasaran itu terapis tidak bermaksud memisahkan dari sifat-sifat tertentu, tetapi mendorong klien belajar menerima dan hidup polaritas-polaritas.

ü  Berkeliling
            Berkeliling adalah salah satu latihan terapi Gestalt dimana klien di minta utuk berkeliling keanggota-anggota klompoknya, dan berbicara atau melakukan sesuatu dengan setiap kelompok.maksud teknis ini adalah untuk menghadapi, memberanikan diri dan menyikapkan diri. Berekperimen dengan tingkah laku yang baru, seta tumbuh dan berubah.
ü  Latihan bertanggung jawab
            dalam latihan ini terapis meminta untuk membuat sesuatu pernyataan dan kemudian menambahkan pernyataan itu. Teknis ini mruapakan perluasan kontinum kesadaran dan di rancang untuk membantu orang agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya kepada orang lain.
ü  Saya memilki suatu rahasia
            Teknis ini di maksudkan untuk mengekplorasi perasaan malu dan berdosa.

ü  Bermain Proyeksi
            Dinamika Proyeksi terdiri atas seseorang melihat pada orang lain hal-hal yang justru ia tidak ingin melihatnya dan menerimanya. orang bisa menguras banyak energi untuk mengngkari perasaan-perasaan sendiri dan untuk mengalihkan motif-motif dirinya kepada orang lain.

  1. Penerapan Konseling Gestalt Disekolah
            Metodelogi Gestalt memiliki penerapan langsung bagi penerapan menangani anak-anak dan remaja di sekolah. Konsep Gestalt dalam mengonfrontasikan anak-anak dengan cara-cara menghindari penggunaan kekuatan pribadinya, dan ia menuntut, berdasarkan pribadinya  sendiri dan hubungannya yang sungguh-sungguh dengan anak-anak itu menerima tanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh mereka. Perasaan tidak berdaya, yang memandang diri sendiri sebagai manusia yang gagal. Ia menerima dan mengakui kenyataan dari perasaan-persaan tersebut dan ia tidak berpretensi untuk mengesampingkan kemarahan dan perlawanan anak-anak.
            Dalam proses belajar mengajar berlandaskan teknis Gestalt yang bisa diterapkan dan diarahkan kepada pelayanan pendidikan guru untuk membantu para guru belajar bagaimana mengintegrasiakan minat-minat utama para siswa dengan pelajaran. Penekanan di berikan bukan hanya pada perasaan-perasaan siswa, tetapi juga pengintegrasian aspek-aspek kognitif afektif dari belajar.

  1. KESIMPULAN
Pendekatan clien centered dan terapi gestalt adalah jelas dari gambaran bahwa jenis hubungan dapat eksis hanya jika konselor secara mendalam dan benar-benar mampu mengadopsi sikap-sikap ini. Klien-berpusat konseling, jika itu harus efektif, tidak bisa menjadi trik atau alat. Ini bukan cara halus membimbing klien sambil berpura-pura untuk membiarkan dia membimbing dirinya. Agar efektif, harus asli. Hal ini sensitif dan tulus "klien-centeredness" dalam hubungan terapeutik yang saya anggap sebagai karakteristik ketiga terapi nondirective yang menetapkan itu khas terpisah dari pendekatan lain

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, Jakarta, Studio Pers:2004
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (terjemahan), Bandung: PT Refika Aditama:2009
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta, Rineka Cipta:2004.
Winken, Bimbingan dan Konseling diIntitusi Pendidikan, Grasindo, Jakarta:1997