Rabu, 26 September 2012

ETIKA PROFESI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH


A.  Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah
1.    Pengertian Etika dan Profesi
Etika menurut Maryani & Ludigdo (2009 : 1) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi” Profesi merupakan suatu pernyataan atau suatu janji terbuka (to profess artinya menyatakan), yang menyatakan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
Profesi sudah cukup jelas diterangkan pada bab sebelumnya. Pada bab ini penulis akan  menguraikan lebih jelas tentang Pendidikan Luar Sekolah, yang sebenarnya banyak sekali cakupan Pendidikan Luar Sekolah disekitar kita. Jadi etika profesi yaitu seperangkat aturan yang mengatur tingkah laku individu anggota profesi dalam mengabdikan diri pada sebuah jabatan.
2.    Pendidikan Luar Sekolah
Undang - Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi kursus/lembaga pendidikan ketrampilan dan satuan pendidikan yang sejenis.
Pendidikan Luar Sekolah adalah bentuk yang paling asli yang telah ada sejak dahulu. Pendidikan Luar Sekolah (PLS) berkembang dari pendidikan tradisional yang biasanya berakar dalam kegiatan agama dan tradisi yang dianut oleh warga masyarakat. Kegiatan tersebut merentang dari kegiatan yang sederhana sampai dengan yang kompleks (seperti, upacara tradisional atau upacara adat yang dilakukan dalam kelompok besar).
a.       Pengertian Pendidikan Luar Sekolah
             Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan luar sekolah dikenal dengan istilah pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Menurut Suparjo Adikusumo dalam Yoyoh (2000:) mengatakan bahwa: Pendidikan Luar Sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan untuk mengembangkan tingkat keterampilan, sikap-sikap dan nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya bahkan masyarakat dan warganya.
Definisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat berbagai tingkat usia dengan berbagai macam kebutuhannya dalam pendidikan luar sekolah. Tujuannya untuk mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai, serta membantu individu untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
Sedangkan Philip Coomb dalam Sutaryat (1992: 56) menyatakan bahwa: Pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Dari pendapat di atas, pendidikan luar sekolah memiliki kegiatan yang terorganisasi dan bertujuan untuk melayani anak didik atau warga belajar dalam mencapai tujuan belajarnya. Selanjutnya, D. Sudjana (1992: 1) memberikan definisi pendidikan luar sekolah sebagai berikut: Pendidikan luar sekolah adalah setiap usaha pelayanan pendidikan yang dilakukan secara sengaja, teratur, dan berencana di luar sistem sekolah, berlangsung sepanjang umur, yang bertujuan untuk mengaktualisasikan potensi manusia sehingga terwujud manusia yang gemar belajar dan membelajarkan, maupun meningkatkan taraf hidup berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah mempunyai beberapa unsurei, yaitu: proses, program, aktivitas, tujuan, dan sasaran. Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang dilakukan dengan sadar tetapi tidak terlalu terikat oleh peraturan yang ketat seperti layaknya pendidikan di sekolah.
b.      Tujuan Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 pasal 2, serta pernyataan dari beberapa definisi pendidikan luar sekolah, maka dapat disarikan kesimpulan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah:
1)      Melayani.
2)      Membina.
3)      Memenuhi kebutuhan.
4)      Mengembangkan tingkat keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya bahkan masyarakat dan negaranya.
5)      Mengaktualisasikan potensi manusia sehingga terwujud manusia yang gemar belajar dan membelajarkan, maupun meningkatkan taraf hidup berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat.

c.       Fungsi Pendidikan Luar Sekolah
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, dalam UU No. 20 Thn.2003, pasal 26 ayat 4, bahwa pendidikan nonformal berfungsi sebagai pelengkap, penambah, dan pengganti pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Terdapat tiga fungsi pendidikan luar sekolah, yaitu:
1)      Sebagai Pelengkap (Complementary Education)
Berfungsi untuk melengkapi kemampuan peserta didik dengan jalan memberikan belajar yang tidak diperoleh dalam kurikulum pendidikan luar sekolah. Tipe pendidikan ini adalah untuk menyempurnakan atau melengkapi pendidikan sekolah. Sasaran anak didiknya adalah murid-murid yang mengikuti jenjang pendidikan sekolah. Pengorganisasian program didasarkan atas kebutuhan peserta dan kebutuhan masyarakat. Pengelola program adalah pihak sekolah yang bekerjasama dengan masyarakat.

2)      Sebagai Penambah (Suplementary Education)
Berfungsi untuk menyediakan kesempatan bagi siswa suatu jenjang pendidikan sekolah yang membutuhkan kesempatan belajar guna memperdalam pemahaman dan penguasaan materi pelajaran, mereka telah menamatkan jenjang pendidikan sekolah tetapi masih memerlukan pelayanan pendidikan yang dapat memperluas materi pelajaran yang telah diperoleh, atau bagi mereka yang putus sekolah dan mempunyai kebutuhan belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dan keterampilan yang berkaitan dengan dunia kerja. Isi pelajaran biasanya dihubungkan dengan situasi praktis dan melibatkan pelajar dalam mengembangkan keterampilan secara langsung akan diaplikasikan dalam situasi kehidupan mereka.

3)      Sebagai Pengganti (Substitution Education)
Program-program yang dilaksanakan adalah untuk melayani anak atau orang dewasa yang karena berbagai hal tidak memasuki pendidikan sekolah. Isi program biasanya cerderung terpusat pada keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, serta pengetahuan umum yang praktis dan sederhana. Keuntungan program PLS sebagai pengganti ini adalah programnya ela menjangkau masyarakat yang lebih luas, penyelenggaraannya singkat, dan biaya pendidikan relative lebih murah.

d.      Sasaran Pendidikan Luar Sekolah
         Sasaran pendidikan luar sekolah tidak terlepas dari sasaran pendidikan nasional, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal ayat, yang berbunyi sebagai berikut:  “Setiap warga negara harus memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya lewat fasilitas pendidikan dan latihan yang telah tersedia”.
Menurut Sutaryat (2009: 1) menggolongkan sasaran PLS ditinjau dari segi: usia, lingkungan sosial budaya, golongan suku terasing, golongan ekonomi lemah, jenis kelamin, golongan mata pencaharian, taraf pendidikan, dan kelompok khusus. Sasaran pendidikan luar sekolah meliputi seluruh warga masyarakat yang membutuhkan pendidikan karena berbagai hal tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah. Pendidikan luar sekolah mengklasifikasikan pendidikan yang meliputi: warga masyarakat yang buta huruf, warga masyarakat putus sekolah antar jenjang lulus sekolah tidak melanjutkan, mereka yang sudah bekerja ingin meningkatkan keterampilan untuk jenjang karir.
e.       Asas-Asas Pendidikan Luar Sekolah
Asas-asas pendidikan luar sekolah meliputi: asas inovasi, penentuan dan perumusan tujuan pendidikan, kebutuhan, pendidikan sepanjang hayat, dan relevansi pengembangan masyarakat (Sutaryat, 2008: 1).
1)      Asas inovasi: penyelenggaraan dan pengembangan program pendidikan luar sekolah ke arah perubahan yang positif karena ditemukan ide, gagasan atau cara bekerja yang dianggap baru oleh orang yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi atau untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
2)      Asas penentuan dan perumusan tujuan pendididkan: pendidikan luar sekolah bertujuan untuk menentukan apa yang harus dipenuhi, sikap dan jenis tingkatan keterampilan yang dikuasai lulusannya. Perumusan tujuan yang baik dalam setiap jenis pendidikan akan mengarah pada pencapaian program yang optimal.
3)      Asas kebutuhan: setiap kegiatan yang dilakukan berdasarkan atas kebutuhan yang disarankan oleh warga belajar (masyarakat).
4)      Asas pendidikan sepanjang hayat: kesempatan yang diberikan kepada setiap warga belajar tidak terbatas oleh waktu dan usia, dan diarahkan pada upaya untuk menumbuhkan masyarakat yang gemar belajar (learning society). Adanya masyarakat yang gemar belajar akan menjadi ciri tumbuhnya masyarakat terdidik (educated society).
5)      Asas relevansi: program pendidikan luar sekolah hendaknya dapat berperan untuk:
a)      Menumbuhkankan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mereka membebaskan diri dari kebodohan.
b)      Membantu masyarakat supaya bisa hidup berorganisasi untuk mempelajari keadaan hidupnya.
c)      Masyarakat dapat memecahkan masalah sosial ekonomi yang dihadapainya.
f.       Ciri-Ciri Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan penjelasan Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 tentang PLS dan ditambah dengan pendapat Zulkarnaen dan Pujiwati dalam kumpulan konvensi nasional (2008: 1), ciri-ciri pendidikan luar sekolah adalah sebagai berikut:
1)      Pendidikan luar sekolah memiliki keleluasaan yang besar untuk secara cepat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah.
2)      Pendidikan luar sekolah merupakan jembatan antara pendidikan sekolah dan dunia kerja.
3)      Penyelenggaraan kegiatan pendidikan luar sekolah pada umumnya tidak terpusat, lebih terbuka dalam penerimaan peserta didik dan tidak terikat pada aturan yang ketat.
4)      Menjawab kebutuhan warga belajar atau masyarakat pada waktu dan situasi tertentu.
5)      Waktu penyelenggaraan yang relatif pendek/singkat.
6)      Organisasi penyelenggaraan relatif pendek dan tidak permanen.
7)      Berorientasi pada pengetahuan dan keterampilan praktis.
8)      Warga belajarnya mempunyai latar belakang yang beraneka ragam.
9)      Pada umumnya tidak memberikan sertifikat yang mempunyai efek/pengaruh.




g.      Komponen Pendidikan Luar Sekolah
            Pendidikan Luar Sekolah memiliki komponen yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan sekolah, perbedaan komponennya, terutama pada program pendidikan yang terkait dengan dunia kerja, dunia usaha dan program yang diintegrasikan ke dalam gerakan pembangunan masyarakat (intergrated community development), ialah adanya dua komponen tambahan yaitu masukan lain (other input) dan pengaruh (out come/impact)

B.  Ruang Lingkup Pendidikan Luar Sekolah
Ruang lingkup Pendidikan Luar Sekolah meliputi pendidik (educater), praktisi, dan peneliti (research).
1.      Pendidik
       Guru atau pedidik adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal dan sistematis. Dalam hal konsep pendidikan luar sekolah bersifat nonformal. Sehingga sebutan untuk pendidik bermacam-macam sesuai dengan bidang yang dijalaninya, lain halnya dengan pendidikan formal yang hanya disebut dengan guru. Di bawah ini istilah pendidik dalam PLS sesuai bidang masing-masing:
a.       Tutor
Tutor adalah pendidik pada Pendidikan Nonformal yang bertugas pada pendidikan anak usia dini, pendidikan kesetaraan, dan pendidikan keaksaraan.
b.      Instruktur
1)      Konsep Dasar Instruktur
a)      Pengertian instruktur
Instruktur merupakan tugas seorang yang mengerjakan sesuatu sekaligus memberikan latihan dan bimbingan. Istilah instruktur ini digunakan dalam lingkungan jalur pendidikan luar sekolah yaitu pada kursus dan pelatihan. Jadi pada hakekatnya instruktur berperan sebagai guru yang merupakan komponen terpenting dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini dipertegas lagi oleh Hamalik (2000: 40) yang mendefinisikan nstruktur sebagai berikut: Instruktur adalah seorang yang bekerja sebagai pendidik dalam suatu lembaga pendidikan dan latihan dan mempunyai sejumla kompetensi untuk membelajarakan peserta didik, sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu agar pesertadidik tersebut dapat meningkatkan kemampuan dalam bekerja.
Dengan demikian dapat digaris bawahi bahwa instruktur aalah orang dewasa yang diberi tanggung jawaboleh lembaga kursus atau pelatihan untuk mengembangkan potensi warga belajarnya dalam hal kognitif, apektif dan psikomotor.

b)      Peran instruktur
Seorang instruktur harus memiliki beberapa peranan, dimana peranan terseb merupakan kunci dari suksesnya kegiatan pembelajaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hamalik (2000: 145-147) bahwa instruktur harus dapat menjalankan beberapa peranan yaitu : sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, fasilitator, peranan sebagai peserta aktif, peranan sebagai ekspeditor, peranan sebagai perencana pembelajaran, pengawas, motivator, evaluator, dan konselor.

1)      Peran sebagai pengajar
Instruktur berperan menyampaikan pengetahuan dengan cara menyajikan berbagai informasi yang diperlukan berupa konsep-konsep, fakta dan informasi lainnya yang memperkaya wawasan, pengetahuan para peserta dengan cara melibatkan mereka secara aktif untuk mencari sendiri pengetahun yang mereka butuhkan.
2)      Peran sebagai pemimpin kelas
Sebagai pemimpin kelas instruktur berperan sebagai pemimpin kelas secara keseluruhan, pemimpin kelompok dan sekaligus sebagai anggota kelompok. Karena perannya itu maka setiap pelatihan perlu menyusun perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaianselama berlangsungnya proses pembelajaran.
3)      Peran sebagai pembimbing
Sebagai pembimbingin struktur perlu memberikanbantuan dan pertolongan nepada peserta yang mengalami kesulitan atau masalahkhususnya dalam kegiatan belajar, yang pada gilirannya peserta didik aktif membimbing dirinya sendiri.
4)      Peran sebagai peserta aktif
Instruktur dapat berperan serta sebagai peserta dalam kelompok diskusi, dengan cara memberikan informasi, mengarahkan pemikiran, menunjukan jalan pemecahan masalah, menunjukan sumber-sumber yang diperlukan oleh kelas dalam rangka menunjang kegiatan belajar peserta.
5)      Peran sebagai ekspeditor
Instruktur sebagai ekspeditor bertugas untuk melakukan pencarian, penjelajahan dan penyediaan mengenai sumber-sumber yang diperlukan oleh kelas dalam rangka menunjang kegiatan belajar peserta.
6)      Peran sebagai perencana pembelajaran
Sebagai perencana pembelajaran instruktur berperan menyusun perencanaan pembelajaran, mulai dari rencana materi yang disusun berdasarkan GBPP, perencanaan harian dan perencanaan satuan acara dan pertemuan.
7)      Peran sebagai pengawas
Sebagai pengawas instruktur harus mengawasi kelas secara terus menerus supaya proses pembelajaran terarah dan terkendali sehingga menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas.
8)      Peran sebagai motivator
Instruktur sebagai motivator perlu terus menggerakan motivasi belajar para peserta, baik selama berlangsungnya proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran.
9)      Peran sebagai evaluator
Instruktur berkewajiban melakukan penilaian pada awal pelatihan, selama berlangsungnya proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran.
10)  Peran sebagai konselor
Instruktur sebagai konselor harus dapat memberikan penyuluhan tentang kesulitan pribadi dan sosial masyarakat jika memungkinkan.
11)  Peran sebagai penyelidik sikap dan nilai
Sistem nilai yang dijadikan panutan hidup dan sikap perlu diselidiki oleh instruktur, mengingat semua peserta pada gilirnnya akan didayagunakan sebagai tenaga kerja yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Adapun peran instruktur menurut Moh Uzer Usman (1994: 6-9) dalam Mustika (2007: 23) mengemukakan bahwa peran instruktur dalam meningkatkan mutu pembelajaran meliputi : peran sebagai demonstrator, pengelola kelas, fasilitator, dan evaluator.
(a)    Peran instruktur sebagai demonstran
Peran instruktur adalah mendemonstrasikan suatu materi pembelajaran sehingga lebih mudah dimengertidan dipahami oleh peserta. Oleh karena itu instruktur harus menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan serta senantiasa mengembangkan kemampuannya yang pada akhirnya mampu memperagakan ap yang diajarkan secara didaktis.
(b) Peran sebagai fasilitator
Instruktur memperhatikan dan mendengarkan apa yang diungkapkan, dirasakan oleh peserta dan bagaimana peserta mencari jalan pemecahan masalah selama kegiatan berlangsung serta mencari hubungan dari kegiatan yang telah dikatakan dengan kehidupan sehari-hari. Instruktur yang efektif kerap kali memperagakan suatu media yang mendukung materi sehingga peserta lebih merasa jelas. Oleh karena itu nstruktur hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses belajar mengajar.
(c) Peran instruktur sebagai evaluator
       Sebagai evaluator instruktur harus mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Oleh karena itu instruktur harus melaksanakan evaluasi pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan untuk mengadakan penilaan pada hasil yang telah dicapai baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik.
Notoatmojo (1992;61) dalam Mustika (2007 : 25) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang instruktur, yaitu :
(1) Educational Change Agent artinya bahwa instruktur merupakan agen perubahan melaluipendidikan yang dilakukan
(2) The Learner, proses belajar akan berjalan dengan baik jika instrktur mengenal peserta didiknya dengan baik.(3) Methodology, instruktur harus mempunyai kemampuan untuk mengetahuao macam-macam metode dan dapat menggunakan metode yang sesuai dengan bahan yang akan diajarkan.(4) Multi Media, penggunaan beberapa media/ multi media akan lebih efektif dibandingkan dengan hanya menggunakan satu media.
(5) Evaluation, dilakukan untuk mengetahui prestasi yang diperoleh peserta didik setelkah mengikuti proses pembelajaran.
Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa instruktur harus dapat mempertajam kemampuan yang signifikan dengan peran-perannya sebagai gambaran tanggungjawab yang besar dan konsekuensi. Instruktur harus daapat menjalani hubungan yang kuat tetapi tidak memberikan doktrin dan menanamkan nilai-nilai standar pribadinya tetapi melihat kebutuhan dan metode pendekatannya.
c.       Penyuluh
Penyuluh merupakan sebutan pendidikan dalam pendidikan non formal dalam bidang penyuluhan.
1)      Pengertian Penyuluhan
Pada dasarnya yang dimaksud dengan penyuluhan menurut bahasa Indonesia berasal dari kata “suluh”, yang berarti pemberi terang di tengah kegelapan ( Totok Mardikanto dan Sri Sutarmi dalam Raden, 2004 : 16). Pengertian ini memberi makna bahwa penyuluhan merupakan proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang belum diketahui dengan jelas untuk dilaksanakan.
2)      Ciri-ciri penyuluhan
Dalam pengertian penyuluhan, Totok Mardikanto (1982 : 15) dalam Raden (2004 :19) mengemukakan bahwa proses penyuluhan sebagai proses pendidikan yang memiliki ciri-ciri, antara lain :
a) Penyuluhan adalah system pendidikan non-formal (di luar sistem persekolahan) yang :
(1)   Terpercaya atau terprogram
(2)   Dapat dilakukan di mana saja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, bahkan dapat dilakukan sambil bekerja (learning by doing).
(3)   Tidak terikat waktu, baik penyelenggaraannya maupun jangka waktunya.
(4)   Disesuaikan dengan kebutuhan sasaran
(5)   Pendidik dapat berasal dari salah satu anggota peserta didik.
b)      Penyuluhan merupakan pendidikan orang dewasa. Sehingga:
(1)   Metode pendidikan lebih banyak bersifat lateral yang saling mengisi dan berbagi pengalamandibanding pendidik yang sifatnya vertikal atau menggurui.
(2)   Keberhasilan tidak oleh jumlah materi atau informasi yang disampaikan, tetapi seberapa jauh terciptanya dialog antara pendidik dan peserta didik.
(3)   Sasaran utamanya adalah orang dewasa (baik dewasa dalam arti biologis maupun psikologis).
d.      Pelatih
Pelatih merupakan panggilan kepada sesorang yang memberikan pelatihan. Biasanya kata pelatih ini sering digunakan dalam bidang olahraga. Sedangkan bila di pendidikan nonformal pelatih disebut bila dalam pelatihan atau Diklat.
(1)   Pelatihan
Flippo dalam Nenden (2001: 20) menegaskan bahwa latihan pada dasarnya merupakan suatu usaha pengetahuan dan kecakapan agar karyawan dapat mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Sedangkan, Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1974 memberi pengertian pada latihan sebagai bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif sigkat dengan metode yang mengutamakan praktek daripada teori.
Mills dalam Nenden (2001 : 20) menerangkan pula bahwa latihan yang dibarengi dengan penuh pengertian merupakan pendidikan lanjutan dan menjadi dasar yang lebih luas, sehingga pekerja akan menjadi lebih terampil dalam pekerjaannya, akan merasa lebih bahagia dalam pekerjaan itu dan akan membuat dirinya jadi sadar terhadap kesempatan-kesempatan untuk mencapai kemajuan. Berdasarkan pada uraian di atas latihan dapat didefinisikan sebagai suatu kejadian pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, terorganisir, dan sistematis di luar sistem persekolahan untuk memberikan dan meningkatkan suatu pengetahuan dan keterampilan tertentu kepada kelompok tenaga kerja tertentu dalam waktu yang relatif singkat dan metode yang mengutamakan praktek dan teori, agar mereka memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam memahami dan melaksanakan suatu pekerjaan tertentu dengan cara yang efektif dan efisien. Sementara itu Tjiptono Da Diana (2009 : 1) membedakan istilah pendidikan dan pelatihan dengan mengatakan :’pendidikan lebih bersifat filosofis dan teoritis sedangkan pelatihan lebih bersifat spesifik dan praktis.”
Senada dengan itu,menurut Notoatmojo, bahwa pendidikan di dalam suatu organisasi adalah suatu proses pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan oleh organisasi yang bersangkutan, sedangkan pelatihan merupakan bagian dari suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau ketrampiln. Lebih lanjut Notoatmojo menguraikan perbandingan secara teoritis antara pendidikan dengan pelatihan sebagai berikut:
2.      Praktisi
Praktisi atau pakar yaitu orang yang membuat, memiliki dan mengelola suatu lembaga. Lembaga disini misalnya kursus, PKBM, yayasan dan lainnya.




3.      Peneliti
Peneliti dapat diartikan seseorang yang mengamati, mempelajari suatu masalah untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat unuk masyarakat banyak. Dalam hal ini, peneliti dalam pendidikan nonformal meliputi aspek ; pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal.

C. Program-Program Pendidikan Luar Sekolah
1.   Konsep Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pada pendidikan anak usia dini, karena perkembangan psikologis peserta didiknya masih sedemikian dini, maka tugas pendidik lebih bersifat sebagai pengasuh (Jawa: pamong). Dengan demikian tutornya diberi sebutan pamong, yaitu Pamong Paud.
a.       Pengertian PAUD
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Bab I Pasal 14, disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Hampir senada dengan di atas, Gutama, dkk. (2008: 1) menyatakan bahwa:
Pendidikan anak usia dini adalah pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini (0-6 tahun) yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah dalam bentuk penitipan anak, kelompok bermain, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis, guna mempersiapkan anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta kelak siap memasuki pendidikan dasar.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sri Wahyuningsih, dkk. (2008: 1), bahwa pendidikan anak usia dini adalah:
Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak usia dini, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan dasar dan kehidupan tahap berikutnya.
Menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini dalam Widha (2004: 31) anak usia dini adalah anak usia 0 – 6 tahun yang merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan sangat berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya.
Anak usia dini juga diaertikan sebagai anak prasekolah. Menurut Biechler dan Snowman (1993) dalam Widha (2004: 31) adalah mereka yang berusia 3 – 6 tahun. Mereka biasanya mengikuti program prasekolah dan kindegarten.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan anak usia 0-6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan dalam rangka membantu anak guna mengembangkan perkembangan jasmani dan rohaninya sehingga ia memiliki kesiapan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu tahap pendidikan dasar.

b.      Bentuk Kegiatan PAUD
Lebih lanjut dalam Bab VI Pasal 28 ayat 3, 4, dan 5, disebutkan pula bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pada jalur nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

c.       Tujuan PAUD
Tujuan dari PAUD itu sendiri yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini ada dua yaitu :
1)      Sebagai pedoman bagi para petugas pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan berbagai bentuk satuan pendidikan anak usia dini.
2)      Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan PAUD dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.



d.      Prinsip Umum PAUD
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini mengemukakan prinsip-prinsip umum Pendidikan Anak Usia Dini, yang antara lain adalah :
1)      Setiap idividu anak adalah unik, oleh karena itu program belajar harus memperhatikan dan peka terhadap adanya minat yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya.
2)       Tugas pendidik, baik guru maupun orang tua adalah memberi pengarahan yang positif bagi perkembangan anak, memberi peluang untuk berubah, dan bukan mematikannya dengan memberi cap negatif pada anak. Perkembangan anak berjalan secara bertahap, oleh karenanya pendidik harus menyesuaikan kegiatan belajar dengan tahap perkembangan anak, bukan berdasarkan target yang ditentukan oleh orangtua atau guru.
3)      Usia anak merupakan masa kritis, sehingga guru perlu memahami kebutuhan anak pada setiap tahap perkembangan, dengan cara memberikan rangsangan yang sesuai dan bermanfaat bagi kepentingan perkembangan anak.
Aspek perkembangan anak saling berhubungan, karena itu perlu diberi perhatian secara utuh. Menurut Gutama, dkk. (2008: 1), Prinsip perkembangan anak ada enam prinsip, yaitu:
a)      Anak akan belajar dengan baik bila kebutuhan fisiknya terpenuhi dan merasakan aman serta nyaman dalam lingkungannya.
b)      Anak belajar terus menerus, dimulai dari membangun pemahaman tentang sesuatu, mengeksplorasi lingkungan, menemukan kembali sesuatu konsep, hingga mampu membuat sesuatu yang berharga.
c)      Anak belajar melalui interaksi sosial baik dengan orang dewasa maupun dengan teman sebaya yang ada di lingkungannnya.
d)     Minat dan ketekunan anak akan memotivasi belajar anak.
e)      Perkembangan dan gaya belajar anak seharusnya dipertimbangkan sebagai perbedaan individu.
f)       Anak belajar dari yang sederhana ke yang kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, dari gerakan ke verbal, dan dari diri sendiri ke sosial.
4)      Bakat dan lingkungan saling mempengaruhi perkembangan anak. Lembaga pendidikan perlu memberi lingkungan dan pengaruh positif pada anak, serta berusaha meminimasi kecenderungan negatif.
5)      Perilaku anak tergantung pada motivasi atau stimulan dari dalam dan luar dirinya. Ini mendorong pendidikperlu memberikan motivasi dengan cara memberi lebih banyak pengertian tentang keuntungan apa yang akan diperoleh anak bila berlaku positif.
6)      Perkembangan intelegensia juga bergantung pada pola pengasuhan. Disini pendidik hendaknya dapat mengantarkan anak pada optimalisasi perkembangan potensinya, dengan cara perlakuan yang tepat dan bimbingan yang memadai, selain pemberian gizi dan perlindungan kesehatan yang cukup.
7)      Perkembangan anak bergantung pada hubungan antara pribadi, kesempatan mengekspresikan diri dan bimbingan pada setiap tahap perkembangan anak.

e.       Komponen/Unsur-Unsur PAUD
Terdapat tujuh komponen atau unsur PAUD, antara lain:
(1) Peserta didik
(2) Pendidik
(3) Pengelola
(4) Teknis penyelenggaraan
(5) Pengelolaan administrasi
(6) Evaluasi, dan
(7) Pembinaan.

2.   Konsep Pendidikan Keaksaraan
a.       Pengertian Keaksaraan
Keaksaraan (Literacy) secara sederhana diartikan sebagai kemampuan untuk membaca, menulis dan berhitung. Bagi orang dewasa yang buta aksara, kecakapan keaksaraan tidak hanya sekedar dapat membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi lebih menekankan fungsi dalam kehidupan sehari-hari (Archer, 2008).
Secara luas, Keaksaraan didefinisikan sebagai pengetahuan dasar dan keterampilan yang diperlukan oleh semua warga negara dan menjadi salah satu fondasi bagi penguasaan kecakapan-kecakapan hidup yang lain.
Adapun menurut John Hunter dalam Deni (2004: 24) menyatakan bahwa ada tiga kategori besar tentang definisi keaksaraan, dimana setiap kategori didasi oleh asumsi yang sangat berbeda dari peran keaksaraan dalam kehidupan setiap individu dan dalam kehidupan masyarakat yaitu :
1)      Keaksaraan merupakan seperangkat keterampilan dan kemampuan atau kompetensi dasar.
2)      Keaksaraan sebagai dasar yang penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik.
3)      Keaksaraan merupakan refleksi dari kebijakan dan kenyataan structural.
Program keaksaraan di Indonesia lebih dikenal dengan Program Pendidikan Keaksaraan Fungsional, sehingga secara terminologi (istilah) fungsional dalam keaksaraan, berkaitan erat dengan fungsi dan/atau tujuan dilakukannya Pembelajaran di dalam program pendidikan keaksaraan, serta adanya jaminan bahwa hasil belajarnya benar-benar “bermakna/bermanfaat” atau fungsional bagi “peningkatan mutu dan taraf hidup” warga belajar dan masyarakatnya.
Keaksaraan fungsional memiliki suatu tujuan yang lebih dari sekedar kemampuan menulis, membaca dan berhitung, karena kemampuan tersebut akan menjadi fondasi bagi kemampuan-kemampuan lainnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kusnadi dalam Deni (2004: 24) yang mengungkapkan bahwa :
Keaksaraan fungsional adalah suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, mengamati, dan menganalisa,yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitarnya.
Program ini ditujukan untuk melayani warga masyarakat yang tidak dapat membaca dan menulis yang dikarenakan mereka tidak dapat mengikuti atau menyelesaikan pendidikan di sekolah formal. Berdasarkan penelitian lintas negara yang dilaksanakan oleh UNESCO disimpulkan bahwa keberhasilan dalam program pemberantasan buta huruf berdampak pada menurunnya angka kematian ibu dan bayi, meningkatnya usia harapan hidup masyarakat (Zainudin Arief, 1997).



b.      Tujuan pendidikan keaksaraan fungsional
Program Pendidikan keaksaraan merupakan bentuk layanan Pendidikan Non Formal untuk membelajarkan masyarakat buta aksara, agar memiliki keterampilan CALISTUNG, dan kemampuan fungsional untuk meningkatkan “mutu” dan “taraf’” hidupnya. Maka program pendidikan keaksaraan bertujuan untuk;
1)      Meningkatkan ketrampilan membaca, menulis dan berhitung warga masyarakat buta aksara, agar melek aksara latin dan angka Arab, serta meningkatkan kemampuan fungsionalnya agar melek bahasa Indonesia dan pengetahuan dasarnya sehingga mutu dan taraf hidupnya menjadi lebih baik.
2)      Memecahkan masalah kehidupannya sendiri dan kehidupan masyarakat sekitarnya
3)      Membuka jalan untuk mencari atau mendapatkan sumber-sumber kehidupannya
4)      Melaksanakan kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien.
5)      Mengunjungi dan belajar pada lembaga yang dibutuhkan.
6)      Menggali, mempelajari pengetahuan, keterampilan dan sikap pembaharuan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan.
c.       Aspek dasar keaksaraan fungsional
Untuk mencapai tujuan pembelajaran pada program keaksaraan fungsional, maka hendaklah memperhatikan dan mengembangkan keterampilan dasar dan kemamppuan fungsional warga belajar. Aspek dasar keaksaraan fungsional tersebut adalah :
1)      Keterampilan dasar, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan calistung warga belajar.
2)      Kemampuan fungsional, yaitu kemampuan warga belajar dalam menggunakan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung dalam kehidupan sehari-hari, seperti menulis kwitansi, mengisi formulir, membaca petunjuk dan lain sebagainya.
d.      Tahap-tahap kemajuan keaksaraan fungsional
Program keaksaraan fungsional dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu tahap pemberantasan, pembinaan, dan pelestarian. Tahap-tahap ini menjelaskan tentang kemajuan warga belajar sesuai dengan harapan tujuan keaksaraan fungsional:
1)      Pemberantasan, menggambarkan warga belajar yang belum memiliki keterampilan dasar. Dalam hal ini, tutor perlu membantu warga belajar mengatasi ketidakmampuan membaca dan menulis sendiri, serta mengembangkan keterampilan dasarnya dalam kegiatan belajar mengajar yang fungsional, sesuaidengan minat dan kebutuhan warga belajar.
2)      Pembinaan, menggambarkan warga belajar yang sudah memiliki keterampilan dasar membaca dan menulis dengan lancar, memiliki pengetahuan dan pengalaman. Pada tahap ini, tutor dapat membantu warga belajar dengan menggunakan bahan belajar dari kehidupan sehari-hari dan membantu mereka mengembangkan kemampuan fungsionalnya.
3)      Pelestarian, menggambarkan pembentukan sikap warga belajar agar dapat terus belajar. Pada tahap ini, diharapkan warga belajar dapat memecahkan masalah dan mencari informasi serta nara sumber sendiri. Sedangkan peran tutor membantu warga belajar dalam mengembangkan kemampuan seperti dalam memilih topik belajar, membuat rencana belajar, menulis laporan, dan sebagainya.
e.       Prinsip penyelenggaraan keaksaraan fungsional
Pendidikan keaksaraan sebagai salah satu layanan pendidikan non formal untuk membelajarkan warga masyarakat buta aksara, dan sebagai suatu pendekatan pembelajaran, merupakan cara untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan menggunakan keterampilan membaca, menulis, berhitung, mengamati dan menganalisis, yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitar.
Untuk mencapai hal tersebut, pendidikan keaksaraan diselengarakan dengan prinsip ;
1)      Konteks lokal, adalah bahwa pembelajaran pendidikan keaksaraan dilaksanakan berdasarkan minat, kebutuhan, pengalaman, permasalahan dan situasi lokal serta potensi yang ada di sekitar warga belajar.
2)      Desain lokal, tutor bersama warga belajar perlu merancang kegiatan pembelajaran di kelompok belajar, sebagai jawaban atas permasalah, minat dan kebutuhan warga belajar.
3)      Partisipatif, tutor perlu melibatkan warga belajar berpartisipasi secara aktif, dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil warga belajar
4)      Fungsionalisasi hasil belajar, dari hasil pembelajaran nya warga belajar diharapkan dapat memecahkan masalah keaksaraannya dan meningkatkan mutu dan taraf hidupnya.

f.       Strategi pembelajaran pendidikan keaksaraan
Dalam rangka mengembangkan kemampuan warga belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan membaca, menulis, berhitung, mengamati dan menganalisis, yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitar. Maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah; membaca, menulis, berhitung, diskusi dan aksi (Calistungdasi). Kegiatan aksi dalam strategi pembelajaran pendidikan keaksaraan adalah merupakan pemanfaatan hasil belajar warga belajar atau fungsionalisasi hasil belajar.
g.      Komponen penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan.
Komponen penyelenggaraan pendidikan keaksaraan terdiri; atas komponen utama, komponen pembelajaran dan komponen pendukung, yang masing terdiri atas unsur – unsur sebagai berikut :
1)      Komponen utama, komponen utama penyelenggaraan pendidikan keaksaraan meliputi :
a)      Warga belajar
b)      Tutor,
c)      Penyelenggara
d)     Kelompok belajar
e)      Tenaga Suport Sistem
f)       Dana
2)      Komponen pembelajaran
Komponen pembelajaran penyelenggaraan pendidikan keaksaraan terdiri atas;
a) Struktur/kurikulum program pembelajaran.
b) Program pembelajaran.
c) Proses pembelajaran.
d) Bahan dan media belajar.
e) Evaluasi belajar.
f) Fungsionalisasi hasil belajar.
3)       Komponen Pendukung
Komponen pendukung pendidikan keaksaraan terdiri atas :
(a) Pelatihan.
(b) Pendampingan.
(c) Bimbingan teknis.
(d) Acuan – acauan.
(e) Ragi belajar.
(f) Birokrasi dan dukungan masyarakat.
3.   Konsep Pendidikan Kesetaraan
Sejalan dengan kebijaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, warga masyarakat diwajibkan menempuh pendidikan minimal lulus SLTP atau sederajat. Ternyata, banyak warga masyarakat usia wajib belajar tidak dapat mengikuti pendidikannya di sekolah. Banyak pula masyarakat karena hambatan sosial, ekonomi, budaya dan geografis tidak dapat mengikuti pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Untuk itulah,
Program Paket A dan B memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat menempuh pendidikannya yang setara dengan SD dan SLTP melalui jalur pendidikan luar sekolah. Program Paket C dilaksanakan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang karena berbagai hal tidak dapat melanjutkan pendidikan setingkat SLTA pada jalur pendidikan sekolah. Kurikulum Paket A, B, dan C juga dilengkapi dengan muatan keterampilan, sehingga diharapkan para lulusannya siap kerja baik memasuki dunia usaha maupun usaha mandiri setelah menyelesaikan program.
Pada pendidikan kesetaraan, sistem pembelajarannya dikonsepkan sebagai sistem pembelajaran peserta didik aktif. Tutor merupakan pembimbing dan pemotivasi peserta didik untuk mempelajari sendiri modul pembelajarannya. Tutor pendidikan kesetaraan bertugas membimbing peserta didik untuk secara aktif mempelajari materi ajar yang tersaji dalam modul. Dengan demikian tutor pendidikan kesetaraan lebih bersifat pembimbing dan motivator dari pada guru yang mengajar.




4.   Konsep dasar kursus
a.       Pengertian kursus
Literatur menyebutkan bahwa Kursus didefinisikan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga (Kepdirjen Diklusepora) Nomor: KEP-105/E/L/1990 sebagai berikut: Kursus pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan masyarakat selanjutnya disebut kursus, adalah satuan pendidikan luar sekolah yang menyediakan berbagai jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental bagi warga belajar yang memerlukan bekal dalam mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Kursus dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat dengan swadaya dan swadana masyarakat. Istilah kursus merupakan terjemahan dari course dari bahasa inggris yang secara harfiyah berarti mata pelajaran atau rangkaian peajaran. Sedangkan menurut Roni Artasasmita (1985:10) dalam Mustika (2007 : 27) bahwa: Kursus sebagai suatu kegiatan pendidikan di dalam masyarakat yang dilakukan dengan sengja, terorganisir, dan sistematik untuk memberikan suatu mata pelajaran atau rangkaian pelajaran tertentu kepada orang dewasa atau dalam waktu yang relatif singkat, agar mereka memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat dimanfaatkannya untuk mengembangkan dirinya dan masyarakatnya.
Kursus dikatakan sebagai salah satu satuan Pendidikan Luar Sekolah karena hal tersebut tercantum dalam PP No. 73 tahun 1991 dan dijelaskan bahwa kursus diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan bakat keterampilaln tertentu untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan atau melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dengan demikian kursus merupakan kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan dalam masyarakat untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan serta sikap kepada masyarakat secara terorganisir dan sistematis dalam jangka waktu relatif singkat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

b.      Tujuan Kursus
Pada dasarnya pendidikan maupun kursus dan latihan mempunyai tujuan yang sama, yaitu meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan warga belajarnya. Tujuan inilah yang menjadi landasan dalam pembelajaran di lembaga kursus. Adapun tujuan kursus menurut PP No. 73 tahun 1991 dijelaskan bahwa pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik di lembaga maupun tidak (pasal 1 ayat 1) bertujuan :
1)      Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna menngkatkan martabat dan mutu kehidupannya.
2)      Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan atau jenjang yang lebih tinggi.
3)      Memenuhi kehidupan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi pada jalur pendidikan sekolah.
c.       Penyelenggaraan kursus
Penelenggaraan kursus pada dasarnya berorientasi pada kebutuhan belajar siswa, tujuan belajar, warga belajar, dan pengalaman belajar siswa. Beorientasi pada kebutuhan belajar memberikan arti bahwa penyelenggaraan kursus didasarkan atas kebutuhan yang dirasakan adanya kebutuhan belajar di dalam dirinya.
Berorientasi kepada siswa memberi makna bahwa kursus diselenggarakan harus memperhatikan kondisi siswa yang memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya.
d.      Unsur-Unsur Umum dari Kursus
Menurut Roni Artasasmita (1985 : 10) dalam Mustika (2004 : 31) kursus mempunyai unsur-unsur umum, yaitu :
1)      Kursus dilakukan dengan cara sengajadan terorganisir.
2)      Dilakukan di dalam masyarakat.
3)      Kursus memberikan mata pelajaran atau rangkaian pelajaran tertentu.
4)      Peserta kursus adalah kelompok orang dewasa atau remaja.
5)      Kursus dilakukan dalam waktu yang singkat.
5.   Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ( PKBM )
1.      Pengertian PKBM
Pengertian Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ( PKBM ) sebagai lembaga yang dibentuk oleh dan untuk masyarakat memiliki arti sebagai tempat pembelajaran dalam berbagai macam keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Lebih lanjut pengertian PKBM adalah suatu tempat kegiata pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi desa untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya (Balitbang Depdiknas dalam Ade, 2006 : 46).
PKBM merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih dan dijadikan ajang pemberdayaan masyarakat. Hal ini selaras dengan pemikiran bahwa melembagakan PKBM akan banyak potensi yang selama ini tidak digali, akan dapat tergali, ditumbuhkan dan dimanfaatkan, didayagunakan melalui pendekatan-pendekatan kultural dan persuasif.
Berdasarkan pengertian di atas, memberikan penekanan bahwa prakarsa penyelenggaraan pendidikan khususnya Pendidikan Luar Sekolah dapat diharapkan tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat sendiri, sehingga akan lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat setempat dan masyarakat akan merasa memiliki, yang selanjutnya kegiatan pembelajaran berkelanjutan (continuing learning ) akan terjadi secara optimal.
2.      Latar belakang PKBM
Adapun yang melatarbelakangi adanya pembentukan PKBM itu adalah:
a)      Adanya kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh masyarakat pada masa lalu lokasinya terpencar-pencar, sehingga saat ini dapat dipusatkan agar setiap saat dapat dilihat wujudnya serta indikator keberhasilan dapat dievaluasi.
b)      Efektifitas dan efisiensi, pemantauan, pembinaan, dan pengendalian lebih mudah dan terpadu.
c)      Banyak kegiatan pendidikan masyarakat yang diselenggarakan oleh berbagai instansi dapat diintegrasikan dan dikoordinasikan di PKBM.
d)     Adanya dukungan dan partisipasi masyarakat.
e)      Memberikan motivasi dan meningkatkan kinerja belajar.

3.      Visi dan Misi PKBM
Pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sebagai alternatif pemecahan masalah, dikembangkan dengan visi menyiapkan warga belajar cerdas, berkualitas, maju dan mandiri. Adapun misi yang diembannya adalah membelajarkan masyarakat dan memasyarakatkan belajar melalui pendekatan : belajar untuk mengenal atau pengetahuan, belajar untuk berkarya atau bekerja, belajar untuk hidup dalam kebersamaan, belajar untuk mandiri.

4.      Tujuan dan Fungsi PKBM
Pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sebagai alternatif pemecahan masalah yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang tepat dan sesuai dengan tuntutan pasar serta tersedianya sumber dan faktor pendukung lainnya yang berada di masyarakat. Direktorat Pendidikat Tenaga Teknis Depdiknas menyarankan arah PKBM sebagai berikut :
a)      Membentuk manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga memiliki penghasilan yang tetap dan layak.
b)      Membentuk manusia yang mau dan mampu mengembangkan dan atau menularkan keterampilannya kepada orang lain.
Fungsi PKBM menurut Sihombing dalam Ade ( 2001 : 48) mengemukakan bahwa fungsi PKBM adalah sebagai berikut :
(1)   Sebagai wadah pembelajaran, artinya tempat warga masyarakat menimbailmu pengetahuan dan keterampilan fungsional yang dapat didayagunakan secara tepat dan cepat dalam upaya perbaikan kualitas hidup.
(2)   Sebagai tempat pusaran semua potensi masyarakat, artinya PKBM sebagai tempat pertukaran berbagai potensi yang ada dan berkembang di masyarakat. Semua masyarakat memiliki kelebihan ilmu, keterampilan dan sikap yang dapat dijadikan nara sumber bagi masyarakat anggota lainnya.
(3)   Sebagai pusat dan sumber informasi, artinya tempat masyarakat menanyakan berbagai informasi tentang berbagai jenis kegiatan pembelajaran dan keterampilan fungsional yang dibutuhkan masyarakat, baik kegiatan yang diselenggarakan PKBM atau ditempat lain yang representatif dan terjangkau oleh masyarakat.
(4)   Sebagai ajang tukar menukar keterampilan dan pengalaman, artinya tempat penukaran berbagaiketerampilan dan pengalaman yang dimiliki masyarakat dengan prinsip saling membelajarkan.
(5)   Sebagai sentra pertemuan antara pengelola dan sumber belajar, artinya tempat diadakan berbagai pertemuan baik secara intern PKBM maupun di luar PKBM.
(6)   Sebagai lokal belajar yang tidak pernah kering, artinya tempat yang secara terus menerus digunakan untuk kegiatan belajar bagi masyarakat.
5.      Penyelenggaraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.
Penyelenggaraan PKBM bisa dilaksanakan dengan bentuk bekerja sama dengan LSM atau lembaga instansi, serta swadaya masyarakat. Sehingga pengelolaannya dapat dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tokoh masyarakat, LSM, Yayasan atau orang yang ditunjuk oleh perusahaan. Dengan demikian sesuai dengan misinya jenis kegiatan yang dilaksanakan agar mengacu kepada terwujudnya proses pembelajaran yang erat kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, semua kegiatan Pendidikan Luar Sekolah dapat dilaksanakan di PKBM.
6.      Sumber Dana Pengembangan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
Pembelajaran yang penuh dengan mata pelajaran keterampilan diperlukan dana yang cukup besar, karena setiap praktek diperlukan bahan-bahan yang harus dibeli. Sumber dana kegiatan PKBM digali dan didapat dari:
a)      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Proyek
b)      Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
c)      Swadaya Masyarakat
d)     Sumber lain yang tidak bersifat mengikat
e)      Pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) diselenggarakan dengan cara atau dalam bentuk bekerjasama dengan LSM atau lembaga/instansi.
7.      Kelompok Belajar Usaha
Kelompok Belajar Usaha (KBU) adalah program pembelajaran yang memberikan peluang kepada masyarakat melalui kelompok belajar untuk belajar, bekerja dan berusaha, sebagai pelajaran pasca program KF dan kesetaraan Paket B dan C.
Tujuan KBU adalah untuk memperluas kesempatan belajar usaha bagi masyarakat yang tidak mampu, agar memiliki penghasilan yang tetap, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya. Pola pelaksanaan KBU dibedakan menjadi dua, yaitu pola bersama dan pola sendiri sendiri. Pola bersama yaitu warga belajar mengelola dana belajar usaha secara bersama dalam kelompok, karena jenis usahanya sama. Pola sendiri sendiri yaitu KBU yang mengelola dana belajar usahanya dikelola atau diusahakan oleh masing masing warga belajar secara terpisah karena jenis usahanya berbeda beda, tetapi tetap dalam ikatan kelompok.
Program KBU ini dikatakan berhasil apabila warga belajar dapat mengembangkan dan memasarkan hasil usahanya, memiliki penghasilan yang tetap, serta dapat memutarkan atau mengembangkan dana belajar usahanya.

8.      Pendidikan Anak Jalanan
Mereka yang disebut "anak jalanan" adalah para penjaja dagangan, penyemir sepatu, pedagang asongan, penjual koran, pengamen, peminta-minta, pengais sayur sayuran di pasar tradisional, dan sebagainya. Mereka sangat rentan terhadap kemungkinan menjadi pengguna obat obatan terlarang, terlibat tindakan atau korban kekerasan, kriminal, pelecehan dan prostitusi, terkena gangguan kesehatan dari asap (polusi udara) yang dikeluarkan kendaraan bermotor, gangguan ketertiban lalu lintas, dan kadang kadang bersikap antisosial. Mereka tidak lagi sempat memikirkan pentingnya pendidikan, tetapi hanya memikirkan kebutuhan ekonomi untuk diri dan keluarganya.
Saat ini Direktorat Pendidikan Masyarakat turut berusaha bersama dengan instansi terkait untuk menangani permasalahan tersebut melalui pendidikan yang mampu membimbing dan mengembalikan hak hak pendidikan anak jalanan sehingga dapat belajar dan berkarya sebagaimana mestinya.
9.      Pendidkan Buat Anak Bekerja
Direktorat Pendidikan Masyarakat sedang melaksanakan program pendidikan bagi pekerja anak usia 7 15 tahun yang bekerja atau membantu orang tuanya bekerja. Sebagai ujicoba program ini dilaksanakan Program Paket A dan Paket B di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kudus Propinsi Jawa Tengah di bidang industri genteng dan Kota Jepara Propinsi Jawa Tengah di bidang nelayan. Tujuan program ini adalah mengembangkan sistem pendidikan luar sekolah yang dirancang khusus untuk pekerja anak (sesuai dengan kebutuhan dan minat warga belajar serta pekerjaannya).
10.  Taman Bacaan Masyarakat
Budaya membaca perlu dikembangkan kepada semua lapisan masyarakat. Direktorat Pendidikan Masyarakat telah mengembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) bagi masyarakat pedesaan melalui penyediaan bahan bacaan yang berbentuk buku buku maupun modul dan bahan belajar non cetak.
Tujuan pendirian TBM ini adalah untuk meningkatkan dan melestarikan kemampuan baca tulis masyarakat, menumbuhkan dan meningkatkan minat serta kegemaran membaca agar tercipta budaya membaca warga masyarakat.
11.  Program Life Skills
Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi, telah diterapkan program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPIDIPSE) yang bertujuan untuk menanggulangi masalah-masalah sosial, terutama di bidang pangan, kesehatan, dan pendidikan. Pendidikan luar sekolah merupakan salah satu program di bidang pendidikan yang memperoleh alokasi anggaran dari PPD-PSE. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa sasaran utama pendidikan luar sekolah adalah warga masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus sekolah, penganggur atau dengan kata lain warga masyarakat yang tergolong miskin serta warga masyarakat yang ingin belajar untuk menguasai keterampilan tertentu sebagai bekal untuk bisa bekerja mencari nafkah atau usaha mandiri. Pendekatan program adalah kecakapan hidup (life skills).
a.       Pengertian Kecakapan Hidup
Istilah Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (2008 : 1) menjelaskan bahwa,  “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”.
Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi.
Keterampilan hidup adalah konsep yang dimaksudkan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan fungsional praktis serta perubahan sikap kepada seseorang untuk dapat bekerja dan usaha mandiri, membuka lapangan kerja dan lapangan usaha serta memanfaatkan peluang yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan kualitas kesejahteraannya. Konsep keterampilan hidup memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan dan keterampilan yang di yakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri.

b.      Indikator Life Skill
Indikator-indikator yang terkandung dalam life skills tersebut secara konseptual dikelompokkan :
1)      Kecakapan mengenal diri (self awarness) atau sering juga disebut kemampuan personal (personal skills)
2)      Kecakapan berfikir rasional (thinking skills) atau kecakapan akademik (akademik skills)
3)      Kecakapan sosial (social skills)
4)      Kecakapan vokasional (vocational skills) sering juga disebut dengan keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat spesifik (spesifik skills) atau keterampilan teknis (technical skills). Menurut Jecques Delor (2008 : 1) mengatakan bahwa pada dasarnya program life skills ini berpegang pada empat pilar pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1.      Learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan).
2.      Learning to do (belajar untuk dapat berbuat/bekerja).
3.      Learning to be (belajar untuk menjadi orang yang berguna).
4.      Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain).

D.    Asosiasi Profesi Pendidikan Luar Sekolah
Akademisi dan praktisi membentuk asosiasi untuk mengembangkan Pendidikan Luar Sekolah. Ketua Asosiasi Profesi Pendidikan Luar Sekolah Indonesia (AP2LSI), Prof Dr H Ishak Abdulhak, mengatakan asosiasi profesi ini dianggap penting dibentuk untuk menghimpun kekuatan sebagai potensi peningkatan program PLS.
Pembentukan asosiasi baru sekarang terwujud kendalanya karena biasanya berpikir sektoral dan parsial. Sehingga, sekarang diajak berpikir secara nasional untuk menyelesaikan masalah PLS yang ada di Indonesia. Deklarasi AP2SLI pada Ahad, 08 Januari 2006. Anggota asosiasi itu tersebar secara nasional. Namun, dalam pencetusan hanya diwakili oleh 15 Lembaga Pendidikan Teknik Keguruan (LPTK) yang memiliki program pendidikan luar sekolah. Anggota yang hadir itu berasal dari Jawa dan luar Jawa, seperti Padang dan Palembang.

E.     Etika Profesi Pendidikan Luar Sekolah
Dapat dikatakan bahwa etika profesi pendidikan luar sekolah adalah suatu aturan yang mengatur anggotanya dalm menjalankan tugas keprofesiannya, dalam hal ini PLS yang menyangkut dengan masyarakat banyak. Sehingga akan tercipta lingkungan yang harmonis dan apa yang menjadi tujuan dapat terlaksana dengan sebaiknya. Etika sangat berpengaruh besar agar terjadinya harmonisasi dan tanggung jawab anggota profesi sehngga tidak terjadi penyimpangan atau penyelewengan yang merugikan semua orang.
















DAFTAR PUSTAKA


Hatton, Michael J, (1997), Lifelong learning; Policies, Practices, and Programs, APEC Publication, Canada.
Kaple, SN, Change For Children; Ideas and Activities for Individualizing learning, Goodyear Publishing Compani, Inc. California.
Kusumah, Inu Hardi dkk (2004); Quo Vadis Pendidikan Sepanjang Hayat dan dan Belajar Sepanjang Hayat, Makalah, PLS S2, UPI Bandung.
Sudjana, Djudju, (2004); Pendidikan Non Formal, Fallah Production, Bandung
_______ (2004); Manajemen program Pendidikan; Fallah Production, Bandung
Trisnamansyah, S, (2004), Filsafat, Teori dan Konsep Pendidikan Luar Sekolah, Handout Perkuliahan, Program PLS PPS UPI, Bandung.
file://http./pendidikan-luar-sekolah-dalam-kerangka.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar