A.
Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah
1.
Pengertian Etika dan Profesi
Etika menurut Maryani & Ludigdo (2009 : 1) “Etika adalah Seperangkat
aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan
maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan
masyarakat atau profesi” Profesi merupakan suatu pernyataan atau suatu janji
terbuka (to profess artinya menyatakan), yang menyatakan bahwa seseorang itu
mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayanan karena orang tersebut
merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
Profesi sudah cukup jelas diterangkan pada bab sebelumnya. Pada bab ini
penulis akan menguraikan lebih jelas
tentang Pendidikan Luar Sekolah, yang sebenarnya banyak sekali cakupan
Pendidikan Luar Sekolah disekitar kita. Jadi etika profesi yaitu seperangkat aturan yang mengatur tingkah
laku individu anggota profesi dalam mengabdikan diri pada sebuah jabatan.
2.
Pendidikan Luar Sekolah
Undang - Undang
No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur
pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan luar
sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui
kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
Satuan pendidikan luar sekolah meliputi kursus/lembaga pendidikan ketrampilan
dan satuan pendidikan yang sejenis.
Pendidikan Luar
Sekolah adalah bentuk yang paling asli yang telah ada sejak dahulu. Pendidikan
Luar Sekolah (PLS) berkembang dari pendidikan tradisional yang biasanya berakar
dalam kegiatan agama dan tradisi yang dianut oleh warga masyarakat. Kegiatan
tersebut merentang dari kegiatan yang sederhana sampai dengan yang kompleks
(seperti, upacara tradisional atau upacara adat yang dilakukan dalam kelompok
besar).
a. Pengertian
Pendidikan Luar Sekolah
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan luar sekolah dikenal dengan istilah
pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Menurut Suparjo Adikusumo dalam Yoyoh (2000:) mengatakan bahwa: Pendidikan
Luar Sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur
dan terarah di luar sekolah, dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan,
latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan
tujuan untuk mengembangkan tingkat keterampilan, sikap-sikap dan nilai yang
memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan
keluarganya bahkan masyarakat dan warganya.
Definisi
tersebut mengindikasikan bahwa terdapat berbagai tingkat usia dengan berbagai
macam kebutuhannya dalam pendidikan luar sekolah. Tujuannya untuk mengembangkan
keterampilan, sikap, dan nilai-nilai, serta membantu individu untuk aktif dalam
kegiatan kemasyarakatan.
Sedangkan Philip Coomb dalam Sutaryat (1992: 56) menyatakan bahwa: Pendidikan
luar sekolah adalah setiap kegiatan yang diorganisasikan di luar sistem
persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian
penting dari kegiatan yang lebih luas, dilakukan secara sengaja untuk melayani
anak didik tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Dari pendapat di atas,
pendidikan luar sekolah memiliki kegiatan yang terorganisasi dan bertujuan
untuk melayani anak didik atau warga belajar dalam mencapai tujuan belajarnya.
Selanjutnya, D. Sudjana (1992: 1) memberikan definisi pendidikan luar sekolah
sebagai berikut: Pendidikan luar sekolah adalah setiap usaha pelayanan
pendidikan yang dilakukan secara sengaja, teratur, dan berencana di luar sistem
sekolah, berlangsung sepanjang umur, yang bertujuan untuk mengaktualisasikan
potensi manusia sehingga terwujud manusia yang gemar belajar dan membelajarkan,
maupun meningkatkan taraf hidup berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan
pembangunan masyarakat.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah mempunyai beberapa unsurei, yaitu: proses, program, aktivitas, tujuan, dan sasaran. Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang dilakukan dengan sadar tetapi tidak terlalu terikat oleh peraturan yang ketat seperti layaknya pendidikan di sekolah.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah mempunyai beberapa unsurei, yaitu: proses, program, aktivitas, tujuan, dan sasaran. Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang dilakukan dengan sadar tetapi tidak terlalu terikat oleh peraturan yang ketat seperti layaknya pendidikan di sekolah.
b. Tujuan
Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 pasal 2, serta pernyataan dari beberapa
definisi pendidikan luar sekolah, maka dapat disarikan kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan luar sekolah adalah:
1) Melayani.
2) Membina.
3) Memenuhi kebutuhan.
4) Mengembangkan tingkat keterampilan,
sikap-sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang
efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya bahkan masyarakat dan
negaranya.
5) Mengaktualisasikan
potensi manusia sehingga terwujud manusia yang gemar belajar dan membelajarkan,
maupun meningkatkan taraf hidup berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan
pembangunan masyarakat.
c. Fungsi
Pendidikan Luar Sekolah
Sebagaimana
telah diungkapkan di atas, dalam UU No. 20 Thn.2003, pasal 26 ayat 4, bahwa
pendidikan nonformal berfungsi sebagai pelengkap, penambah, dan pengganti
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Terdapat tiga fungsi pendidikan luar
sekolah, yaitu:
1) Sebagai
Pelengkap (Complementary Education)
Berfungsi untuk melengkapi kemampuan peserta didik dengan jalan
memberikan belajar yang tidak diperoleh dalam kurikulum pendidikan luar
sekolah. Tipe pendidikan ini adalah untuk menyempurnakan atau melengkapi
pendidikan sekolah. Sasaran anak didiknya adalah murid-murid yang mengikuti
jenjang pendidikan sekolah. Pengorganisasian program didasarkan atas kebutuhan
peserta dan kebutuhan masyarakat. Pengelola program adalah pihak sekolah yang
bekerjasama dengan masyarakat.
2) Sebagai Penambah (Suplementary Education)
Berfungsi untuk menyediakan kesempatan bagi
siswa suatu jenjang pendidikan sekolah yang membutuhkan kesempatan belajar guna
memperdalam pemahaman dan penguasaan materi pelajaran, mereka telah menamatkan
jenjang pendidikan sekolah tetapi masih memerlukan pelayanan pendidikan yang
dapat memperluas materi pelajaran yang telah diperoleh, atau bagi mereka yang
putus sekolah dan mempunyai kebutuhan belajar untuk memperoleh pengetahuan baru
dan keterampilan yang berkaitan dengan dunia kerja. Isi pelajaran biasanya dihubungkan dengan situasi praktis dan
melibatkan pelajar dalam mengembangkan keterampilan secara langsung akan
diaplikasikan dalam situasi kehidupan mereka.
3) Sebagai
Pengganti (Substitution Education)
Program-program yang dilaksanakan adalah untuk melayani anak atau
orang dewasa yang karena berbagai hal tidak memasuki pendidikan sekolah. Isi
program biasanya cerderung terpusat pada keterampilan membaca, menulis, dan
berhitung, serta pengetahuan umum yang praktis dan sederhana. Keuntungan
program PLS sebagai pengganti ini adalah programnya ela menjangkau masyarakat
yang lebih luas, penyelenggaraannya singkat, dan biaya pendidikan relative
lebih murah.
d. Sasaran
Pendidikan Luar Sekolah
Sasaran pendidikan luar sekolah tidak terlepas dari sasaran
pendidikan nasional, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal ayat, yang
berbunyi sebagai berikut: “Setiap warga negara harus memperoleh kesempatan yang sama untuk
mengembangkan kemampuannya lewat fasilitas pendidikan dan latihan yang telah
tersedia”.
Menurut
Sutaryat (2009: 1) menggolongkan sasaran PLS ditinjau dari segi: usia,
lingkungan sosial budaya, golongan suku terasing, golongan ekonomi lemah, jenis
kelamin, golongan mata pencaharian, taraf pendidikan, dan kelompok khusus. Sasaran
pendidikan luar sekolah meliputi seluruh warga masyarakat yang membutuhkan
pendidikan karena berbagai hal tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah.
Pendidikan luar sekolah mengklasifikasikan pendidikan yang meliputi: warga
masyarakat yang buta huruf, warga masyarakat putus sekolah antar jenjang lulus
sekolah tidak melanjutkan, mereka yang sudah bekerja ingin meningkatkan
keterampilan untuk jenjang karir.
e. Asas-Asas
Pendidikan Luar Sekolah
Asas-asas
pendidikan luar sekolah meliputi: asas inovasi, penentuan dan perumusan tujuan
pendidikan, kebutuhan, pendidikan sepanjang hayat, dan relevansi pengembangan
masyarakat (Sutaryat, 2008: 1).
1) Asas inovasi: penyelenggaraan dan pengembangan
program pendidikan luar sekolah ke arah perubahan yang positif karena ditemukan
ide, gagasan atau cara bekerja yang dianggap baru oleh orang yang terlibat
dalam dunia pendidikan sebagai cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi atau
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
2) Asas penentuan
dan perumusan tujuan pendididkan: pendidikan luar sekolah bertujuan untuk
menentukan apa yang harus dipenuhi, sikap dan jenis tingkatan keterampilan yang
dikuasai lulusannya. Perumusan tujuan yang baik dalam setiap jenis pendidikan
akan mengarah pada pencapaian program yang optimal.
3) Asas kebutuhan: setiap kegiatan yang dilakukan
berdasarkan atas kebutuhan yang disarankan oleh warga belajar (masyarakat).
4) Asas pendidikan sepanjang hayat: kesempatan
yang diberikan kepada setiap warga belajar tidak terbatas oleh waktu dan usia,
dan diarahkan pada upaya untuk menumbuhkan masyarakat yang gemar belajar
(learning society). Adanya
masyarakat yang gemar belajar akan menjadi ciri tumbuhnya masyarakat terdidik
(educated society).
5) Asas relevansi:
program pendidikan luar sekolah hendaknya dapat berperan untuk:
a) Menumbuhkankan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya mereka membebaskan diri dari kebodohan.
b) Membantu masyarakat supaya bisa hidup
berorganisasi untuk mempelajari keadaan hidupnya.
c) Masyarakat dapat memecahkan masalah sosial
ekonomi yang dihadapainya.
f. Ciri-Ciri
Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan penjelasan Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 tentang PLS
dan ditambah dengan pendapat Zulkarnaen dan Pujiwati dalam kumpulan konvensi
nasional (2008: 1), ciri-ciri pendidikan luar sekolah adalah sebagai berikut:
1) Pendidikan luar sekolah memiliki keleluasaan
yang besar untuk secara cepat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang
senantiasa berubah.
2) Pendidikan luar sekolah merupakan jembatan
antara pendidikan sekolah dan dunia kerja.
3) Penyelenggaraan kegiatan pendidikan luar
sekolah pada umumnya tidak terpusat, lebih terbuka dalam penerimaan peserta
didik dan tidak terikat pada aturan yang ketat.
4) Menjawab kebutuhan warga belajar atau
masyarakat pada waktu dan situasi tertentu.
5) Waktu
penyelenggaraan yang relatif pendek/singkat.
6) Organisasi
penyelenggaraan relatif pendek dan tidak permanen.
7) Berorientasi
pada pengetahuan dan keterampilan praktis.
8) Warga
belajarnya mempunyai latar belakang yang beraneka ragam.
9) Pada umumnya
tidak memberikan sertifikat yang mempunyai efek/pengaruh.
g. Komponen
Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan Luar Sekolah memiliki komponen yang tidak jauh berbeda
dengan pendidikan sekolah, perbedaan komponennya, terutama pada program
pendidikan yang terkait dengan dunia kerja, dunia usaha dan program yang
diintegrasikan ke dalam gerakan pembangunan masyarakat (intergrated community
development), ialah adanya dua komponen tambahan yaitu masukan lain (other
input) dan pengaruh (out come/impact)
B. Ruang Lingkup
Pendidikan Luar Sekolah
Ruang
lingkup Pendidikan Luar Sekolah meliputi pendidik (educater), praktisi, dan peneliti
(research).
1. Pendidik
Guru atau pedidik adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan
profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui
interaksi edukatif secara terpola, formal dan sistematis. Dalam
hal konsep pendidikan luar sekolah bersifat nonformal. Sehingga sebutan untuk
pendidik bermacam-macam sesuai dengan bidang yang dijalaninya, lain halnya
dengan pendidikan formal yang hanya disebut dengan guru. Di
bawah ini istilah pendidik dalam PLS sesuai bidang masing-masing:
a. Tutor
Tutor
adalah pendidik pada Pendidikan Nonformal yang bertugas pada pendidikan anak
usia dini, pendidikan kesetaraan, dan pendidikan keaksaraan.
b. Instruktur
1) Konsep Dasar
Instruktur
a) Pengertian
instruktur
Instruktur merupakan tugas seorang yang mengerjakan sesuatu
sekaligus memberikan latihan dan bimbingan. Istilah instruktur ini digunakan
dalam lingkungan jalur pendidikan luar sekolah yaitu pada kursus dan pelatihan.
Jadi pada hakekatnya instruktur berperan sebagai guru yang merupakan komponen
terpenting dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini dipertegas lagi oleh
Hamalik (2000: 40) yang mendefinisikan nstruktur sebagai berikut: Instruktur adalah seorang yang bekerja sebagai pendidik
dalam suatu lembaga pendidikan dan latihan dan mempunyai sejumla kompetensi untuk
membelajarakan peserta didik, sehingga dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan yaitu agar pesertadidik tersebut dapat meningkatkan kemampuan dalam
bekerja.
Dengan demikian dapat digaris bawahi bahwa
instruktur aalah orang dewasa yang diberi tanggung jawaboleh lembaga kursus
atau pelatihan untuk mengembangkan potensi warga belajarnya dalam hal kognitif,
apektif dan psikomotor.
b) Peran
instruktur
Seorang instruktur harus memiliki beberapa peranan, dimana peranan
terseb merupakan kunci dari suksesnya kegiatan pembelajaran. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Hamalik (2000: 145-147) bahwa instruktur harus dapat
menjalankan beberapa peranan yaitu : sebagai pengajar, pemimpin kelas,
pembimbing, fasilitator, peranan sebagai peserta aktif, peranan sebagai
ekspeditor, peranan sebagai perencana pembelajaran, pengawas, motivator,
evaluator, dan konselor.
1) Peran sebagai pengajar
Instruktur berperan menyampaikan pengetahuan dengan cara
menyajikan berbagai informasi yang diperlukan berupa konsep-konsep, fakta dan
informasi lainnya yang memperkaya wawasan, pengetahuan para peserta dengan cara
melibatkan mereka secara aktif untuk mencari sendiri pengetahun yang mereka
butuhkan.
2) Peran
sebagai pemimpin kelas
Sebagai
pemimpin kelas instruktur berperan sebagai pemimpin kelas secara keseluruhan,
pemimpin kelompok dan sekaligus sebagai anggota kelompok. Karena perannya itu
maka setiap pelatihan perlu menyusun perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
penilaianselama berlangsungnya proses pembelajaran.
3) Peran sebagai pembimbing
Sebagai pembimbingin struktur perlu
memberikanbantuan dan pertolongan nepada peserta yang mengalami kesulitan atau
masalahkhususnya dalam kegiatan belajar, yang pada gilirannya peserta didik
aktif membimbing dirinya sendiri.
4) Peran
sebagai peserta aktif
Instruktur
dapat berperan serta sebagai peserta dalam kelompok diskusi, dengan cara
memberikan informasi, mengarahkan pemikiran, menunjukan jalan pemecahan
masalah, menunjukan sumber-sumber yang diperlukan oleh kelas dalam rangka menunjang kegiatan belajar peserta.
5) Peran sebagai ekspeditor
Instruktur
sebagai ekspeditor bertugas untuk melakukan pencarian, penjelajahan dan
penyediaan mengenai sumber-sumber yang diperlukan oleh kelas dalam rangka
menunjang kegiatan belajar peserta.
6) Peran sebagai
perencana pembelajaran
Sebagai
perencana pembelajaran instruktur berperan menyusun perencanaan pembelajaran,
mulai dari rencana materi yang disusun berdasarkan GBPP, perencanaan harian dan
perencanaan satuan acara dan pertemuan.
7) Peran sebagai
pengawas
Sebagai
pengawas instruktur harus mengawasi kelas secara terus menerus supaya proses
pembelajaran terarah dan terkendali sehingga menciptakan proses pembelajaran
yang berkualitas.
8) Peran sebagai
motivator
Instruktur
sebagai motivator perlu terus menggerakan motivasi belajar para peserta, baik
selama berlangsungnya proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran.
9) Peran sebagai
evaluator
Instruktur
berkewajiban melakukan penilaian pada awal pelatihan, selama berlangsungnya
proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran.
10) Peran sebagai
konselor
Instruktur
sebagai konselor harus dapat memberikan penyuluhan tentang kesulitan pribadi
dan sosial masyarakat jika memungkinkan.
11) Peran sebagai penyelidik
sikap dan nilai
Sistem nilai yang dijadikan panutan hidup dan sikap perlu
diselidiki oleh instruktur, mengingat semua peserta pada gilirnnya akan
didayagunakan sebagai tenaga kerja yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Adapun peran instruktur menurut Moh Uzer Usman (1994: 6-9) dalam Mustika (2007: 23) mengemukakan bahwa peran instruktur dalam meningkatkan mutu pembelajaran meliputi : peran sebagai demonstrator, pengelola kelas, fasilitator, dan evaluator.
Adapun peran instruktur menurut Moh Uzer Usman (1994: 6-9) dalam Mustika (2007: 23) mengemukakan bahwa peran instruktur dalam meningkatkan mutu pembelajaran meliputi : peran sebagai demonstrator, pengelola kelas, fasilitator, dan evaluator.
(a) Peran
instruktur sebagai demonstran
Peran
instruktur adalah mendemonstrasikan suatu materi pembelajaran sehingga lebih
mudah dimengertidan dipahami oleh peserta. Oleh karena itu instruktur harus
menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan serta senantiasa
mengembangkan kemampuannya yang pada akhirnya mampu memperagakan ap yang diajarkan
secara didaktis.
(b) Peran sebagai
fasilitator
Instruktur memperhatikan dan mendengarkan apa yang
diungkapkan, dirasakan oleh peserta dan bagaimana peserta mencari jalan
pemecahan masalah selama kegiatan berlangsung serta mencari hubungan dari
kegiatan yang telah dikatakan dengan kehidupan sehari-hari. Instruktur yang efektif kerap kali memperagakan suatu media yang
mendukung materi sehingga peserta lebih merasa jelas. Oleh karena itu nstruktur
hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media
pendidikan sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses belajar mengajar.
(c) Peran
instruktur sebagai evaluator
Sebagai evaluator instruktur harus mengevaluasi hasil belajar
peserta didik. Oleh karena itu instruktur harus melaksanakan evaluasi pada
waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan untuk mengadakan penilaan
pada hasil yang telah dicapai baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik.
Notoatmojo (1992;61) dalam Mustika
(2007 : 25) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang instruktur, yaitu :
(1) Educational Change Agent artinya bahwa instruktur merupakan agen perubahan melaluipendidikan yang dilakukan (2) The Learner, proses belajar akan berjalan dengan baik jika instrktur mengenal peserta didiknya dengan baik.(3) Methodology, instruktur harus mempunyai kemampuan untuk mengetahuao macam-macam metode dan dapat menggunakan metode yang sesuai dengan bahan yang akan diajarkan.(4) Multi Media, penggunaan beberapa media/ multi media akan lebih efektif dibandingkan dengan hanya menggunakan satu media.
(5) Evaluation, dilakukan untuk mengetahui prestasi yang diperoleh peserta didik setelkah mengikuti proses pembelajaran.
(1) Educational Change Agent artinya bahwa instruktur merupakan agen perubahan melaluipendidikan yang dilakukan (2) The Learner, proses belajar akan berjalan dengan baik jika instrktur mengenal peserta didiknya dengan baik.(3) Methodology, instruktur harus mempunyai kemampuan untuk mengetahuao macam-macam metode dan dapat menggunakan metode yang sesuai dengan bahan yang akan diajarkan.(4) Multi Media, penggunaan beberapa media/ multi media akan lebih efektif dibandingkan dengan hanya menggunakan satu media.
(5) Evaluation, dilakukan untuk mengetahui prestasi yang diperoleh peserta didik setelkah mengikuti proses pembelajaran.
Pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa instruktur harus dapat mempertajam kemampuan yang signifikan dengan
peran-perannya sebagai gambaran tanggungjawab yang besar dan konsekuensi.
Instruktur harus daapat menjalani hubungan yang kuat tetapi tidak memberikan
doktrin dan menanamkan nilai-nilai standar pribadinya tetapi melihat kebutuhan
dan metode pendekatannya.
c. Penyuluh
Penyuluh
merupakan sebutan pendidikan dalam pendidikan non formal dalam bidang
penyuluhan.
1) Pengertian Penyuluhan
Pada dasarnya yang dimaksud dengan penyuluhan
menurut bahasa Indonesia berasal dari kata “suluh”, yang berarti pemberi terang
di tengah kegelapan ( Totok Mardikanto dan Sri Sutarmi dalam Raden, 2004 : 16).
Pengertian ini memberi makna bahwa
penyuluhan merupakan proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat
tentang segala sesuatu yang belum diketahui dengan jelas untuk dilaksanakan.
2) Ciri-ciri
penyuluhan
Dalam pengertian penyuluhan, Totok
Mardikanto (1982 : 15) dalam Raden (2004 :19) mengemukakan bahwa proses
penyuluhan sebagai proses pendidikan yang memiliki ciri-ciri, antara lain :
a) Penyuluhan
adalah system pendidikan non-formal (di luar sistem persekolahan) yang :
(1) Terpercaya atau
terprogram
(2) Dapat dilakukan
di mana saja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, bahkan dapat
dilakukan sambil bekerja (learning by doing).
(3) Tidak terikat waktu, baik penyelenggaraannya
maupun jangka waktunya.
(4) Disesuaikan
dengan kebutuhan sasaran
(5) Pendidik dapat
berasal dari salah satu anggota peserta didik.
b) Penyuluhan
merupakan pendidikan orang dewasa. Sehingga:
(1) Metode
pendidikan lebih banyak bersifat lateral yang saling mengisi dan berbagi
pengalamandibanding pendidik yang sifatnya vertikal atau menggurui.
(2) Keberhasilan
tidak oleh jumlah materi atau informasi yang disampaikan, tetapi seberapa jauh
terciptanya dialog antara pendidik dan peserta didik.
(3) Sasaran
utamanya adalah orang dewasa (baik dewasa dalam arti biologis maupun
psikologis).
d. Pelatih
Pelatih
merupakan panggilan kepada sesorang yang memberikan pelatihan. Biasanya kata
pelatih ini sering digunakan dalam bidang olahraga. Sedangkan bila di pendidikan
nonformal pelatih disebut bila dalam pelatihan atau Diklat.
(1) Pelatihan
Flippo dalam
Nenden (2001: 20) menegaskan bahwa latihan pada dasarnya merupakan suatu usaha
pengetahuan dan kecakapan agar karyawan dapat mengerjakan suatu pekerjaan
tertentu. Sedangkan, Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1974 memberi pengertian
pada latihan sebagai bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar
untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang
berlaku dalam waktu yang relatif sigkat dengan metode yang mengutamakan praktek
daripada teori.
Mills dalam Nenden (2001 : 20) menerangkan pula bahwa latihan yang
dibarengi dengan penuh pengertian merupakan pendidikan lanjutan dan menjadi
dasar yang lebih luas, sehingga pekerja akan menjadi lebih terampil dalam
pekerjaannya, akan merasa lebih bahagia dalam pekerjaan itu dan akan membuat
dirinya jadi sadar terhadap kesempatan-kesempatan untuk mencapai kemajuan. Berdasarkan pada uraian di atas latihan dapat didefinisikan sebagai
suatu kejadian pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, terorganisir, dan
sistematis di luar sistem persekolahan untuk memberikan dan meningkatkan suatu
pengetahuan dan keterampilan tertentu kepada kelompok tenaga kerja tertentu
dalam waktu yang relatif singkat dan metode yang mengutamakan praktek dan
teori, agar mereka memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam
memahami dan melaksanakan suatu pekerjaan tertentu dengan cara yang efektif dan
efisien. Sementara itu
Tjiptono Da Diana (2009 : 1) membedakan istilah pendidikan dan pelatihan dengan
mengatakan :’pendidikan lebih bersifat filosofis dan teoritis sedangkan
pelatihan lebih bersifat spesifik dan praktis.”
Senada dengan itu,menurut Notoatmojo, bahwa pendidikan di dalam suatu
organisasi adalah suatu proses pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan
oleh organisasi yang bersangkutan, sedangkan pelatihan merupakan bagian dari
suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau
ketrampiln. Lebih lanjut
Notoatmojo menguraikan perbandingan secara teoritis antara pendidikan dengan
pelatihan sebagai berikut:
2. Praktisi
Praktisi atau pakar yaitu orang yang membuat, memiliki
dan mengelola suatu lembaga. Lembaga disini misalnya kursus, PKBM, yayasan dan
lainnya.
3. Peneliti
Peneliti dapat diartikan seseorang yang mengamati, mempelajari
suatu masalah untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat unuk masyarakat banyak. Dalam
hal ini, peneliti dalam pendidikan nonformal meliputi aspek ; pendidikan
informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal.
C. Program-Program
Pendidikan Luar Sekolah
1. Konsep Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pada pendidikan anak usia dini, karena perkembangan
psikologis peserta didiknya masih sedemikian dini, maka tugas pendidik lebih
bersifat sebagai pengasuh (Jawa: pamong). Dengan demikian tutornya diberi
sebutan pamong, yaitu Pamong Paud.
a. Pengertian PAUD
Dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Bab I Pasal 14,
disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.
Hampir senada dengan di atas, Gutama, dkk. (2008: 1) menyatakan bahwa:
Pendidikan anak usia dini adalah pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini (0-6 tahun) yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah dalam bentuk penitipan anak, kelompok bermain, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis, guna mempersiapkan anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta kelak siap memasuki pendidikan dasar.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sri Wahyuningsih, dkk. (2008: 1), bahwa pendidikan anak usia dini adalah:
Hampir senada dengan di atas, Gutama, dkk. (2008: 1) menyatakan bahwa:
Pendidikan anak usia dini adalah pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini (0-6 tahun) yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah dalam bentuk penitipan anak, kelompok bermain, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis, guna mempersiapkan anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta kelak siap memasuki pendidikan dasar.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sri Wahyuningsih, dkk. (2008: 1), bahwa pendidikan anak usia dini adalah:
Suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak usia dini, yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan dasar dan kehidupan tahap berikutnya.
Menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini dalam Widha (2004: 31) anak usia dini adalah anak usia 0 – 6 tahun yang merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan sangat berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya.
Menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini dalam Widha (2004: 31) anak usia dini adalah anak usia 0 – 6 tahun yang merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan sangat berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya.
Anak
usia dini juga diaertikan sebagai anak prasekolah. Menurut Biechler dan Snowman
(1993) dalam Widha (2004: 31) adalah mereka yang berusia 3 – 6 tahun. Mereka
biasanya mengikuti program prasekolah dan kindegarten.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak
usia dini adalah upaya pembinaan anak usia 0-6 tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan dalam rangka membantu anak guna mengembangkan
perkembangan jasmani dan rohaninya sehingga ia memiliki kesiapan untuk
melanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu tahap pendidikan dasar.
b. Bentuk Kegiatan PAUD
Lebih
lanjut dalam Bab VI Pasal 28 ayat 3, 4, dan 5, disebutkan pula bahwa pendidikan
anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal
dan informal. Pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul
Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pada jalur nonformal berbentuk
Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang
sederajat. Sedangkan pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
c. Tujuan PAUD
Tujuan
dari PAUD itu sendiri yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Anak Usia
Dini ada dua yaitu :
1) Sebagai pedoman bagi para petugas
pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan
berbagai bentuk satuan pendidikan anak usia dini.
2) Untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan PAUD dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya.
d. Prinsip Umum PAUD
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini mengemukakan
prinsip-prinsip umum Pendidikan Anak Usia Dini, yang antara lain adalah :
1) Setiap idividu anak adalah unik, oleh
karena itu program belajar harus memperhatikan dan peka terhadap adanya minat
yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya.
2) Tugas pendidik, baik guru maupun orang tua
adalah memberi pengarahan yang positif bagi perkembangan anak, memberi peluang
untuk berubah, dan bukan mematikannya dengan memberi cap negatif pada anak.
Perkembangan anak berjalan secara bertahap, oleh karenanya pendidik harus
menyesuaikan kegiatan belajar dengan tahap perkembangan anak, bukan berdasarkan
target yang ditentukan oleh orangtua atau guru.
3) Usia anak merupakan masa kritis,
sehingga guru perlu memahami kebutuhan anak pada setiap tahap perkembangan,
dengan cara memberikan rangsangan yang sesuai dan bermanfaat bagi kepentingan
perkembangan anak.
Aspek
perkembangan anak saling berhubungan, karena itu perlu diberi perhatian secara
utuh. Menurut Gutama, dkk. (2008: 1), Prinsip perkembangan anak ada enam
prinsip, yaitu:
a) Anak akan belajar dengan baik bila
kebutuhan fisiknya terpenuhi dan merasakan aman serta nyaman dalam
lingkungannya.
b) Anak belajar terus menerus, dimulai dari
membangun pemahaman tentang sesuatu, mengeksplorasi lingkungan, menemukan
kembali sesuatu konsep, hingga mampu membuat sesuatu yang berharga.
c) Anak belajar melalui interaksi sosial
baik dengan orang dewasa maupun dengan teman sebaya yang ada di lingkungannnya.
d) Minat dan ketekunan anak akan memotivasi
belajar anak.
e) Perkembangan dan gaya belajar anak
seharusnya dipertimbangkan sebagai perbedaan individu.
f) Anak belajar dari yang sederhana ke yang
kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, dari gerakan ke verbal, dan dari diri
sendiri ke sosial.
4) Bakat dan lingkungan saling mempengaruhi
perkembangan anak. Lembaga pendidikan perlu memberi lingkungan dan pengaruh
positif pada anak, serta berusaha meminimasi kecenderungan negatif.
5) Perilaku anak tergantung pada motivasi
atau stimulan dari dalam dan luar dirinya. Ini mendorong pendidikperlu
memberikan motivasi dengan cara memberi lebih banyak pengertian tentang
keuntungan apa yang akan diperoleh anak bila berlaku positif.
6) Perkembangan intelegensia juga
bergantung pada pola pengasuhan. Disini pendidik hendaknya dapat mengantarkan
anak pada optimalisasi perkembangan potensinya, dengan cara perlakuan yang
tepat dan bimbingan yang memadai, selain pemberian gizi dan perlindungan
kesehatan yang cukup.
7) Perkembangan anak bergantung pada
hubungan antara pribadi, kesempatan mengekspresikan diri dan bimbingan pada
setiap tahap perkembangan anak.
e. Komponen/Unsur-Unsur PAUD
Terdapat tujuh
komponen atau unsur PAUD, antara lain:
(1) Peserta
didik
(2) Pendidik
(3) Pengelola
(4) Teknis
penyelenggaraan
(5) Pengelolaan
administrasi
(6) Evaluasi,
dan
(7) Pembinaan.
2. Konsep Pendidikan Keaksaraan
a. Pengertian Keaksaraan
Keaksaraan
(Literacy) secara sederhana diartikan sebagai kemampuan untuk membaca, menulis
dan berhitung. Bagi orang dewasa yang buta aksara, kecakapan keaksaraan tidak
hanya sekedar dapat membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi lebih
menekankan fungsi dalam kehidupan sehari-hari (Archer, 2008).
Secara luas, Keaksaraan didefinisikan sebagai pengetahuan
dasar dan keterampilan yang diperlukan oleh semua warga negara dan menjadi
salah satu fondasi bagi penguasaan kecakapan-kecakapan hidup yang lain.
Adapun menurut John Hunter dalam Deni (2004: 24) menyatakan bahwa ada tiga kategori besar tentang definisi keaksaraan, dimana setiap kategori didasi oleh asumsi yang sangat berbeda dari peran keaksaraan dalam kehidupan setiap individu dan dalam kehidupan masyarakat yaitu :
Adapun menurut John Hunter dalam Deni (2004: 24) menyatakan bahwa ada tiga kategori besar tentang definisi keaksaraan, dimana setiap kategori didasi oleh asumsi yang sangat berbeda dari peran keaksaraan dalam kehidupan setiap individu dan dalam kehidupan masyarakat yaitu :
1) Keaksaraan merupakan seperangkat
keterampilan dan kemampuan atau kompetensi dasar.
2) Keaksaraan sebagai dasar yang penting
untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik.
3) Keaksaraan merupakan refleksi dari
kebijakan dan kenyataan structural.
Program keaksaraan di
Indonesia lebih dikenal dengan Program Pendidikan Keaksaraan Fungsional, sehingga
secara terminologi (istilah) fungsional dalam keaksaraan, berkaitan erat dengan
fungsi dan/atau tujuan dilakukannya Pembelajaran di dalam program pendidikan
keaksaraan, serta adanya jaminan bahwa hasil belajarnya benar-benar
“bermakna/bermanfaat” atau fungsional bagi “peningkatan mutu dan taraf hidup”
warga belajar dan masyarakatnya.
Keaksaraan fungsional memiliki suatu tujuan yang lebih
dari sekedar kemampuan menulis, membaca dan berhitung, karena kemampuan
tersebut akan menjadi fondasi bagi kemampuan-kemampuan lainnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kusnadi dalam Deni (2004: 24) yang mengungkapkan bahwa :
Hal ini sejalan dengan pendapat Kusnadi dalam Deni (2004: 24) yang mengungkapkan bahwa :
Keaksaraan fungsional adalah suatu pendekatan atau cara
untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan menggunakan
keterampilan menulis, membaca, berhitung, mengamati, dan menganalisa,yang
berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di
lingkungan sekitarnya.
Program
ini ditujukan untuk melayani warga masyarakat yang tidak dapat membaca dan
menulis yang dikarenakan mereka tidak dapat mengikuti atau menyelesaikan
pendidikan di sekolah formal. Berdasarkan penelitian lintas negara yang
dilaksanakan oleh UNESCO disimpulkan bahwa keberhasilan dalam program
pemberantasan buta huruf berdampak pada menurunnya angka kematian ibu dan bayi,
meningkatnya usia harapan hidup masyarakat (Zainudin Arief, 1997).
b. Tujuan pendidikan keaksaraan fungsional
Program
Pendidikan keaksaraan merupakan bentuk layanan Pendidikan Non Formal untuk
membelajarkan masyarakat buta aksara, agar memiliki keterampilan CALISTUNG, dan
kemampuan fungsional untuk meningkatkan “mutu” dan “taraf’” hidupnya. Maka
program pendidikan keaksaraan bertujuan untuk;
1) Meningkatkan ketrampilan membaca,
menulis dan berhitung warga masyarakat buta aksara, agar melek aksara latin dan
angka Arab, serta meningkatkan kemampuan fungsionalnya agar melek bahasa
Indonesia dan pengetahuan dasarnya sehingga mutu dan taraf hidupnya menjadi
lebih baik.
2) Memecahkan masalah kehidupannya sendiri
dan kehidupan masyarakat sekitarnya
3) Membuka jalan untuk mencari atau
mendapatkan sumber-sumber kehidupannya
4) Melaksanakan kehidupan sehari-hari
secara efektif dan efisien.
5) Mengunjungi dan belajar pada lembaga
yang dibutuhkan.
6) Menggali, mempelajari pengetahuan,
keterampilan dan sikap pembaharuan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan.
c. Aspek dasar keaksaraan fungsional
Untuk
mencapai tujuan pembelajaran pada program keaksaraan fungsional, maka hendaklah
memperhatikan dan mengembangkan keterampilan dasar dan kemamppuan fungsional warga
belajar. Aspek dasar keaksaraan fungsional tersebut adalah :
1) Keterampilan dasar, yaitu keterampilan
yang berkaitan dengan kemampuan calistung warga belajar.
2) Kemampuan fungsional, yaitu kemampuan
warga belajar dalam menggunakan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung
dalam kehidupan sehari-hari, seperti menulis kwitansi, mengisi formulir,
membaca petunjuk dan lain sebagainya.
d. Tahap-tahap kemajuan keaksaraan
fungsional
Program
keaksaraan fungsional dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu tahap pemberantasan,
pembinaan, dan pelestarian. Tahap-tahap ini menjelaskan tentang kemajuan warga
belajar sesuai dengan harapan tujuan keaksaraan fungsional:
1) Pemberantasan, menggambarkan warga
belajar yang belum memiliki keterampilan dasar. Dalam hal ini, tutor perlu
membantu warga belajar mengatasi ketidakmampuan membaca dan menulis sendiri,
serta mengembangkan keterampilan dasarnya dalam kegiatan belajar mengajar yang
fungsional, sesuaidengan minat dan kebutuhan warga belajar.
2) Pembinaan, menggambarkan warga belajar
yang sudah memiliki keterampilan dasar membaca dan menulis dengan lancar,
memiliki pengetahuan dan pengalaman. Pada tahap ini, tutor dapat membantu warga
belajar dengan menggunakan bahan belajar dari kehidupan sehari-hari dan
membantu mereka mengembangkan kemampuan fungsionalnya.
3) Pelestarian, menggambarkan pembentukan
sikap warga belajar agar dapat terus belajar. Pada tahap ini, diharapkan warga
belajar dapat memecahkan masalah dan mencari informasi serta nara sumber
sendiri. Sedangkan peran tutor membantu warga belajar dalam mengembangkan
kemampuan seperti dalam memilih topik belajar, membuat rencana belajar, menulis
laporan, dan sebagainya.
e. Prinsip penyelenggaraan keaksaraan
fungsional
Pendidikan
keaksaraan sebagai salah satu layanan pendidikan non formal untuk membelajarkan
warga masyarakat buta aksara, dan sebagai suatu pendekatan pembelajaran,
merupakan cara untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan
menggunakan keterampilan membaca, menulis, berhitung, mengamati dan
menganalisis, yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan
potensi yang ada di lingkungan sekitar.
Untuk mencapai hal tersebut, pendidikan keaksaraan diselengarakan dengan prinsip ;
Untuk mencapai hal tersebut, pendidikan keaksaraan diselengarakan dengan prinsip ;
1) Konteks lokal, adalah bahwa pembelajaran
pendidikan keaksaraan dilaksanakan berdasarkan minat, kebutuhan, pengalaman,
permasalahan dan situasi lokal serta potensi yang ada di sekitar warga belajar.
2) Desain lokal, tutor bersama warga
belajar perlu merancang kegiatan pembelajaran di kelompok belajar, sebagai
jawaban atas permasalah, minat dan kebutuhan warga belajar.
3) Partisipatif, tutor perlu melibatkan
warga belajar berpartisipasi secara aktif, dari mulai tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian hasil warga belajar
4) Fungsionalisasi hasil belajar, dari
hasil pembelajaran nya warga belajar diharapkan dapat memecahkan masalah
keaksaraannya dan meningkatkan mutu dan taraf hidupnya.
f. Strategi pembelajaran pendidikan
keaksaraan
Dalam rangka mengembangkan kemampuan warga belajar dalam
menguasai dan menggunakan keterampilan membaca, menulis, berhitung, mengamati
dan menganalisis, yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta
memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitar. Maka
strategi pembelajaran yang diterapkan adalah; membaca, menulis, berhitung,
diskusi dan aksi (Calistungdasi). Kegiatan aksi dalam strategi pembelajaran
pendidikan keaksaraan adalah merupakan pemanfaatan hasil belajar warga belajar
atau fungsionalisasi hasil belajar.
g. Komponen penyelenggaraan Pendidikan
Keaksaraan.
Komponen
penyelenggaraan pendidikan keaksaraan terdiri; atas komponen utama, komponen
pembelajaran dan komponen pendukung, yang masing terdiri atas unsur – unsur
sebagai berikut :
1) Komponen utama, komponen utama
penyelenggaraan pendidikan keaksaraan meliputi :
a) Warga belajar
b) Tutor,
c) Penyelenggara
d) Kelompok belajar
e) Tenaga Suport Sistem
f) Dana
2) Komponen pembelajaran
Komponen
pembelajaran penyelenggaraan pendidikan keaksaraan terdiri atas;
a) Struktur/kurikulum program pembelajaran.
a) Struktur/kurikulum program pembelajaran.
b) Program
pembelajaran.
c) Proses
pembelajaran.
d) Bahan dan
media belajar.
e) Evaluasi
belajar.
f)
Fungsionalisasi hasil belajar.
3) Komponen Pendukung
Komponen
pendukung pendidikan keaksaraan terdiri atas :
(a) Pelatihan.
(a) Pelatihan.
(b)
Pendampingan.
(c) Bimbingan
teknis.
(d) Acuan –
acauan.
(e) Ragi
belajar.
(f) Birokrasi
dan dukungan masyarakat.
3. Konsep Pendidikan Kesetaraan
Sejalan dengan
kebijaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, warga masyarakat
diwajibkan menempuh pendidikan minimal lulus SLTP atau sederajat. Ternyata,
banyak warga masyarakat usia wajib belajar tidak dapat mengikuti pendidikannya
di sekolah. Banyak pula masyarakat karena hambatan sosial, ekonomi, budaya dan
geografis tidak dapat mengikuti pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Untuk
itulah,
Program Paket A dan B
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat menempuh pendidikannya yang
setara dengan SD dan SLTP melalui jalur pendidikan luar sekolah. Program Paket C
dilaksanakan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang karena berbagai
hal tidak dapat melanjutkan pendidikan setingkat SLTA pada jalur pendidikan
sekolah. Kurikulum Paket A, B, dan C juga dilengkapi dengan muatan
keterampilan, sehingga diharapkan para lulusannya siap kerja baik memasuki
dunia usaha maupun usaha mandiri setelah menyelesaikan program.
Pada pendidikan
kesetaraan, sistem pembelajarannya dikonsepkan sebagai sistem pembelajaran
peserta didik aktif. Tutor merupakan pembimbing dan pemotivasi peserta didik
untuk mempelajari sendiri modul pembelajarannya. Tutor pendidikan kesetaraan
bertugas membimbing peserta didik untuk secara aktif mempelajari materi ajar
yang tersaji dalam modul. Dengan demikian tutor pendidikan kesetaraan lebih
bersifat pembimbing dan motivator dari pada guru yang mengajar.
4. Konsep dasar kursus
a. Pengertian kursus
Literatur
menyebutkan bahwa Kursus didefinisikan dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga (Kepdirjen Diklusepora) Nomor:
KEP-105/E/L/1990 sebagai berikut: Kursus pendidikan luar sekolah yang
diselenggarakan masyarakat selanjutnya disebut kursus, adalah satuan pendidikan
luar sekolah yang menyediakan berbagai jenis pengetahuan, keterampilan, dan
sikap mental bagi warga belajar yang memerlukan bekal dalam mengembangkan diri,
bekerja mencari nafkah dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi.
Kursus dilaksanakan
oleh dan untuk masyarakat dengan swadaya dan swadana masyarakat. Istilah kursus
merupakan terjemahan dari course dari bahasa inggris yang secara harfiyah
berarti mata pelajaran atau rangkaian peajaran. Sedangkan menurut Roni
Artasasmita (1985:10) dalam Mustika (2007 : 27) bahwa: Kursus sebagai
suatu kegiatan pendidikan di dalam masyarakat yang dilakukan dengan sengja,
terorganisir, dan sistematik untuk memberikan suatu mata pelajaran atau
rangkaian pelajaran tertentu kepada orang dewasa atau dalam waktu yang relatif
singkat, agar mereka memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat
dimanfaatkannya untuk mengembangkan dirinya dan masyarakatnya.
Kursus dikatakan sebagai salah satu satuan Pendidikan
Luar Sekolah karena hal tersebut tercantum dalam PP No. 73 tahun 1991 dan
dijelaskan bahwa kursus diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan
bakat keterampilaln tertentu untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah
dan atau melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dengan demikian kursus merupakan kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan dalam masyarakat untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan serta sikap kepada masyarakat secara terorganisir dan sistematis dalam jangka waktu relatif singkat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kursus merupakan kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan dalam masyarakat untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan serta sikap kepada masyarakat secara terorganisir dan sistematis dalam jangka waktu relatif singkat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Tujuan Kursus
Pada
dasarnya pendidikan maupun kursus dan latihan mempunyai tujuan yang sama, yaitu
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan warga belajarnya. Tujuan
inilah yang menjadi landasan dalam pembelajaran di lembaga kursus. Adapun
tujuan kursus menurut PP No. 73 tahun 1991 dijelaskan bahwa pendidikan yang
diselenggarakan di luar sekolah baik di lembaga maupun tidak (pasal 1 ayat 1)
bertujuan :
1) Melayani warga belajar supaya dapat
tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna menngkatkan
martabat dan mutu kehidupannya.
2) Membina warga belajar agar memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan
diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan atau jenjang yang
lebih tinggi.
3) Memenuhi kehidupan belajar masyarakat
yang tidak dapat dipenuhi pada jalur pendidikan sekolah.
c. Penyelenggaraan kursus
Penelenggaraan
kursus pada dasarnya berorientasi pada kebutuhan belajar siswa, tujuan belajar,
warga belajar, dan pengalaman belajar siswa. Beorientasi pada kebutuhan belajar
memberikan arti bahwa penyelenggaraan kursus didasarkan atas kebutuhan yang
dirasakan adanya kebutuhan belajar di dalam dirinya.
Berorientasi
kepada siswa memberi makna bahwa kursus diselenggarakan harus memperhatikan
kondisi siswa yang memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya.
d. Unsur-Unsur Umum dari Kursus
Menurut Roni
Artasasmita (1985 : 10) dalam Mustika (2004 : 31) kursus mempunyai unsur-unsur
umum, yaitu :
1) Kursus dilakukan dengan cara sengajadan
terorganisir.
2) Dilakukan di dalam masyarakat.
3) Kursus memberikan mata pelajaran atau rangkaian
pelajaran tertentu.
4) Peserta kursus adalah kelompok orang
dewasa atau remaja.
5) Kursus dilakukan dalam waktu yang
singkat.
5. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ( PKBM
)
1. Pengertian PKBM
Pengertian Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ( PKBM )
sebagai lembaga yang dibentuk oleh dan untuk masyarakat memiliki arti sebagai
tempat pembelajaran dalam berbagai macam keterampilan yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan taraf hidupnya. Lebih lanjut pengertian PKBM adalah suatu
tempat kegiata pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi
desa untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya
(Balitbang Depdiknas dalam Ade, 2006 : 46).
PKBM
merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih dan dijadikan ajang
pemberdayaan masyarakat. Hal ini selaras dengan pemikiran bahwa melembagakan
PKBM akan banyak potensi yang selama ini tidak digali, akan dapat tergali,
ditumbuhkan dan dimanfaatkan, didayagunakan melalui pendekatan-pendekatan
kultural dan persuasif.
Berdasarkan pengertian di atas, memberikan penekanan
bahwa prakarsa penyelenggaraan pendidikan khususnya Pendidikan Luar Sekolah
dapat diharapkan tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat sendiri,
sehingga akan lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat setempat dan
masyarakat akan merasa memiliki, yang selanjutnya kegiatan pembelajaran
berkelanjutan (continuing learning ) akan terjadi secara optimal.
2. Latar belakang PKBM
Adapun yang
melatarbelakangi adanya pembentukan PKBM itu adalah:
a) Adanya kegiatan pembelajaran yang
diselenggarakan oleh masyarakat pada masa lalu lokasinya terpencar-pencar,
sehingga saat ini dapat dipusatkan agar setiap saat dapat dilihat wujudnya
serta indikator keberhasilan dapat dievaluasi.
b) Efektifitas dan efisiensi, pemantauan,
pembinaan, dan pengendalian lebih mudah dan terpadu.
c) Banyak kegiatan pendidikan masyarakat
yang diselenggarakan oleh berbagai instansi dapat diintegrasikan dan
dikoordinasikan di PKBM.
d) Adanya dukungan dan partisipasi
masyarakat.
e) Memberikan motivasi dan meningkatkan
kinerja belajar.
3. Visi dan Misi PKBM
Pusat
kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sebagai alternatif pemecahan masalah,
dikembangkan dengan visi menyiapkan warga belajar cerdas, berkualitas, maju dan
mandiri. Adapun misi yang diembannya adalah membelajarkan masyarakat dan
memasyarakatkan belajar melalui pendekatan : belajar untuk mengenal atau
pengetahuan, belajar untuk berkarya atau bekerja, belajar untuk hidup dalam
kebersamaan, belajar untuk mandiri.
4. Tujuan dan Fungsi PKBM
Pusat
kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sebagai alternatif pemecahan masalah yang
bertujuan untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang tepat dan
sesuai dengan tuntutan pasar serta tersedianya sumber dan faktor pendukung lainnya
yang berada di masyarakat. Direktorat Pendidikat Tenaga Teknis Depdiknas
menyarankan arah PKBM sebagai berikut :
a) Membentuk manusia yang memiliki
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan,
sehingga memiliki penghasilan yang tetap dan layak.
b) Membentuk manusia yang mau dan mampu
mengembangkan dan atau menularkan keterampilannya kepada orang lain.
Fungsi PKBM menurut Sihombing dalam Ade ( 2001 : 48) mengemukakan bahwa fungsi PKBM adalah sebagai berikut :
Fungsi PKBM menurut Sihombing dalam Ade ( 2001 : 48) mengemukakan bahwa fungsi PKBM adalah sebagai berikut :
(1) Sebagai wadah pembelajaran, artinya
tempat warga masyarakat menimbailmu pengetahuan dan keterampilan fungsional
yang dapat didayagunakan secara tepat dan cepat dalam upaya perbaikan kualitas
hidup.
(2) Sebagai tempat pusaran semua potensi
masyarakat, artinya PKBM sebagai tempat pertukaran berbagai potensi yang ada
dan berkembang di masyarakat. Semua masyarakat memiliki kelebihan ilmu,
keterampilan dan sikap yang dapat dijadikan nara sumber bagi masyarakat anggota
lainnya.
(3) Sebagai pusat dan sumber informasi,
artinya tempat masyarakat menanyakan berbagai informasi tentang berbagai jenis
kegiatan pembelajaran dan keterampilan fungsional yang dibutuhkan masyarakat,
baik kegiatan yang diselenggarakan PKBM atau ditempat lain yang representatif
dan terjangkau oleh masyarakat.
(4) Sebagai ajang tukar menukar keterampilan
dan pengalaman, artinya tempat penukaran berbagaiketerampilan dan pengalaman
yang dimiliki masyarakat dengan prinsip saling membelajarkan.
(5) Sebagai sentra pertemuan antara
pengelola dan sumber belajar, artinya tempat diadakan berbagai pertemuan baik
secara intern PKBM maupun di luar PKBM.
(6) Sebagai lokal belajar yang tidak pernah
kering, artinya tempat yang secara terus menerus digunakan untuk kegiatan
belajar bagi masyarakat.
5. Penyelenggaraan Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat.
Penyelenggaraan
PKBM bisa dilaksanakan dengan bentuk bekerja sama dengan LSM atau lembaga
instansi, serta swadaya masyarakat. Sehingga pengelolaannya dapat dilakukan
oleh kepala sekolah, guru, tokoh masyarakat, LSM, Yayasan atau orang yang
ditunjuk oleh perusahaan. Dengan demikian sesuai dengan misinya jenis kegiatan
yang dilaksanakan agar mengacu kepada terwujudnya proses pembelajaran yang erat
kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, semua
kegiatan Pendidikan Luar Sekolah dapat dilaksanakan di PKBM.
6. Sumber Dana Pengembangan Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat
Pembelajaran
yang penuh dengan mata pelajaran keterampilan diperlukan dana yang cukup besar,
karena setiap praktek diperlukan bahan-bahan yang harus dibeli. Sumber dana
kegiatan PKBM digali dan didapat dari:
a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) atau Proyek
b) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD)
c) Swadaya Masyarakat
d) Sumber lain yang tidak bersifat mengikat
e) Pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM)
diselenggarakan dengan cara atau dalam bentuk bekerjasama dengan LSM atau
lembaga/instansi.
7. Kelompok Belajar Usaha
Kelompok Belajar Usaha (KBU) adalah program pembelajaran
yang memberikan peluang kepada masyarakat melalui kelompok belajar untuk
belajar, bekerja dan berusaha, sebagai pelajaran pasca program KF dan
kesetaraan Paket B dan C.
Tujuan KBU adalah untuk memperluas kesempatan belajar
usaha bagi masyarakat yang tidak mampu, agar memiliki penghasilan yang tetap,
sehingga dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya. Pola
pelaksanaan KBU dibedakan menjadi dua, yaitu pola bersama dan pola sendiri
sendiri. Pola bersama yaitu warga belajar mengelola dana belajar usaha secara
bersama dalam kelompok, karena jenis usahanya sama. Pola sendiri sendiri yaitu
KBU yang mengelola dana belajar usahanya dikelola atau diusahakan oleh masing
masing warga belajar secara terpisah karena jenis usahanya berbeda beda, tetapi
tetap dalam ikatan kelompok.
Program
KBU ini dikatakan berhasil apabila warga belajar dapat mengembangkan dan
memasarkan hasil usahanya, memiliki penghasilan yang tetap, serta dapat
memutarkan atau mengembangkan dana belajar usahanya.
8. Pendidikan Anak Jalanan
Mereka
yang disebut "anak jalanan" adalah para penjaja dagangan, penyemir
sepatu, pedagang asongan, penjual koran, pengamen, peminta-minta, pengais sayur
sayuran di pasar tradisional, dan sebagainya. Mereka sangat rentan terhadap
kemungkinan menjadi pengguna obat obatan terlarang, terlibat tindakan atau
korban kekerasan, kriminal, pelecehan dan prostitusi, terkena gangguan
kesehatan dari asap (polusi udara) yang dikeluarkan kendaraan bermotor,
gangguan ketertiban lalu lintas, dan kadang kadang bersikap antisosial. Mereka
tidak lagi sempat memikirkan pentingnya pendidikan, tetapi hanya memikirkan
kebutuhan ekonomi untuk diri dan keluarganya.
Saat
ini Direktorat Pendidikan Masyarakat turut berusaha bersama dengan instansi
terkait untuk menangani permasalahan tersebut melalui pendidikan yang mampu
membimbing dan mengembalikan hak hak pendidikan anak jalanan sehingga dapat
belajar dan berkarya sebagaimana mestinya.
9. Pendidkan Buat Anak Bekerja
Direktorat
Pendidikan Masyarakat sedang melaksanakan program pendidikan bagi pekerja anak
usia 7 15 tahun yang bekerja atau membantu orang tuanya bekerja. Sebagai
ujicoba program ini dilaksanakan Program Paket A dan Paket B di tiga kabupaten,
yaitu Kabupaten Kudus Propinsi Jawa Tengah di bidang industri genteng dan Kota
Jepara Propinsi Jawa Tengah di bidang nelayan. Tujuan program ini adalah
mengembangkan sistem pendidikan luar sekolah yang dirancang khusus untuk
pekerja anak (sesuai dengan kebutuhan dan minat warga belajar serta
pekerjaannya).
10. Taman Bacaan Masyarakat
Budaya
membaca perlu dikembangkan kepada semua lapisan masyarakat. Direktorat
Pendidikan Masyarakat telah mengembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) bagi
masyarakat pedesaan melalui penyediaan bahan bacaan yang berbentuk buku buku
maupun modul dan bahan belajar non cetak.
Tujuan pendirian TBM ini adalah untuk meningkatkan dan melestarikan kemampuan baca tulis masyarakat, menumbuhkan dan meningkatkan minat serta kegemaran membaca agar tercipta budaya membaca warga masyarakat.
Tujuan pendirian TBM ini adalah untuk meningkatkan dan melestarikan kemampuan baca tulis masyarakat, menumbuhkan dan meningkatkan minat serta kegemaran membaca agar tercipta budaya membaca warga masyarakat.
11. Program Life Skills
Kebijakan
pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi, telah diterapkan program
Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPIDIPSE) yang bertujuan
untuk menanggulangi masalah-masalah sosial, terutama di bidang pangan,
kesehatan, dan pendidikan. Pendidikan luar sekolah merupakan salah satu program
di bidang pendidikan yang memperoleh alokasi anggaran dari PPD-PSE. Hal ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa sasaran utama pendidikan luar sekolah adalah
warga masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus sekolah, penganggur atau
dengan kata lain warga masyarakat yang tergolong miskin serta warga masyarakat
yang ingin belajar untuk menguasai keterampilan tertentu sebagai bekal untuk
bisa bekerja mencari nafkah atau usaha mandiri. Pendekatan program adalah
kecakapan hidup (life skills).
a. Pengertian Kecakapan Hidup
Istilah Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai
kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema
hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara
proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu
mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (2008 : 1) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”.
Brolin (2008 : 1) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”.
Dengan
demikian life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah
hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job),
namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti
: membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola
sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan
teknologi.
Keterampilan hidup adalah konsep yang dimaksudkan untuk
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan fungsional praktis
serta perubahan sikap kepada seseorang untuk dapat bekerja dan usaha mandiri,
membuka lapangan kerja dan lapangan usaha serta memanfaatkan peluang yang
dimiliki, sehingga dapat meningkatkan kualitas kesejahteraannya. Konsep
keterampilan hidup memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan
dan keterampilan yang di yakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri.
b. Indikator Life Skill
Indikator-indikator
yang terkandung dalam life skills tersebut secara konseptual dikelompokkan :
1) Kecakapan mengenal diri (self awarness)
atau sering juga disebut kemampuan personal (personal skills)
2) Kecakapan berfikir rasional (thinking
skills) atau kecakapan akademik (akademik skills)
3) Kecakapan sosial (social skills)
4) Kecakapan vokasional (vocational skills)
sering juga disebut dengan keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang
dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat spesifik (spesifik
skills) atau keterampilan teknis (technical skills). Menurut Jecques Delor
(2008 : 1) mengatakan bahwa pada dasarnya program life skills ini berpegang
pada empat pilar pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Learning to know (belajar untuk
memperoleh pengetahuan).
2. Learning to do (belajar untuk dapat
berbuat/bekerja).
3. Learning to be (belajar untuk menjadi
orang yang berguna).
4. Learning to live together (belajar untuk
dapat hidup bersama dengan orang lain).
D. Asosiasi Profesi Pendidikan Luar Sekolah
Akademisi
dan praktisi membentuk asosiasi untuk mengembangkan Pendidikan Luar Sekolah.
Ketua Asosiasi Profesi Pendidikan Luar Sekolah Indonesia (AP2LSI), Prof Dr H
Ishak Abdulhak, mengatakan asosiasi profesi ini dianggap penting dibentuk untuk
menghimpun kekuatan sebagai potensi peningkatan program PLS.
Pembentukan
asosiasi baru sekarang terwujud kendalanya karena biasanya berpikir sektoral
dan parsial. Sehingga, sekarang diajak berpikir secara nasional untuk
menyelesaikan masalah PLS yang ada di Indonesia. Deklarasi AP2SLI pada Ahad, 08
Januari 2006. Anggota
asosiasi itu tersebar secara nasional. Namun, dalam pencetusan hanya diwakili
oleh 15 Lembaga Pendidikan Teknik Keguruan (LPTK) yang memiliki program
pendidikan luar sekolah. Anggota yang hadir itu berasal dari Jawa dan luar
Jawa, seperti Padang dan Palembang.
E. Etika Profesi Pendidikan Luar Sekolah
Dapat dikatakan bahwa etika profesi pendidikan luar sekolah adalah suatu
aturan yang mengatur anggotanya dalm menjalankan tugas keprofesiannya, dalam
hal ini PLS yang menyangkut dengan masyarakat banyak. Sehingga
akan tercipta lingkungan yang harmonis dan apa yang menjadi tujuan dapat
terlaksana dengan sebaiknya. Etika sangat berpengaruh besar agar terjadinya
harmonisasi dan tanggung jawab anggota profesi sehngga tidak terjadi
penyimpangan atau penyelewengan yang merugikan semua orang.
DAFTAR PUSTAKA
Hatton, Michael J, (1997), Lifelong learning; Policies, Practices, and Programs, APEC Publication, Canada.
Kaple, SN, Change For Children; Ideas and Activities for Individualizing
learning, Goodyear Publishing Compani, Inc. California.
Kusumah, Inu Hardi dkk (2004); Quo Vadis Pendidikan Sepanjang Hayat dan dan
Belajar Sepanjang Hayat, Makalah, PLS S2, UPI Bandung.
Sudjana, Djudju, (2004); Pendidikan Non Formal, Fallah Production, Bandung
_______ (2004); Manajemen program Pendidikan; Fallah Production, Bandung
Trisnamansyah, S, (2004), Filsafat, Teori dan Konsep Pendidikan Luar
Sekolah, Handout Perkuliahan, Program PLS PPS UPI, Bandung.
file://http./pendidikan-luar-sekolah-dalam-kerangka.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar