BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Banyak yang mengatakan
bahwa masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah terletak pada
aspek moral. Terbukti dengan banyaknya berita tentang tawuran antar pelajar,
kasus-kasus narkoba yang sering kita lihat di televisi tidak jarang pemakainya
juga masih menyandang status pelajar, beberapa pelajar berada di "teralis
besi" karena menganiaya gurunya sendiri, anak yang tidak lagi memiliki
sopan santun pada orang tua. Dan yang sangat parah lagi yaitu ada anak yang
berani membunuh orang tuanya sendiri.
Kita harus menyadari
bahwa tujuan pendidikan adalah memperbaiki moral, lebih tegasnya yakni
"memanusiakan manusia". Berbagai macam kurikulum telah dipergunakan
di Negara kita tercinta ini yang tidak lain adalah untuk tercapainya
tujuan-tujuan pendidikan yang telah teramanatkan dalam UUD 1945 pada umumnya
dan pada khususnya dalam perundang-undangan pendidikan yang telah dibuat oleh
pemerintah.
Mulai dari kurikulum 1975
yang kemudian dilanjutkan dengan kurikulum 1984, setelah itu diteruskan dengan
penggunaan kurikulum 1994 yang terkenal dengan pendekatan CBSA-nya. Setelah itu
muncul kembali sebagai penyempurna kurikulum 1994 itu yang dikenal dengan
kurikulum 1999 (Suplemen kurikulum sebelumnya). Perjalanan kurikulum pendidikan
Indonesia tidak hanya berhenti sampai disini. Pemformatan ulang kurikulum
terjadi lagi pada tahun 2004 yang menitik beratkan pada pengolahan bakat anak
sesuai kompetensi masing-masing. Kurikulum ini dinamai dengan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Pada kurikulum ini pemerintah mulai memberi angin
segar pada peserta didik. Mengapa? Karena pada kurikulum sebelumnya yang
menerapkan penekanan pada aspek kognitif saja sekarang telah bergeser pada tiga
aspek yaitu Kognitif (pikiran), afektif (perasaan), dan terakhir Psikomotorik
(ketrampilan). Jadi pada kurikulum ini pemerintah mulai mencoba untuk menggarap
peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya melalui tiga aspek tersebut dan
yang terpenting adalah sesuai dengan bakat dan kompetensi masing-masing
individu.
Demikian panjangnya
perjalanan kurikulum pendidikan kita yang dilihat sepintas seperti melakukan
kelinci percobaan pada peserta didik. Kalau kita menilik undang-undang
Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 3, "Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab", maka
kita dapat memahami bahwa tujuan utama pendidikan adalah membentuk insan yang
beriman dan berakhlak mulia.
Kita sering mendengar
ungkapan yang mengatakan bahwa mengajarkan anak-anak kecil ibaratnya seperti
menulis di atas batu yang akan berbekas sampai usia tua, sedangkan mengajarkan
pada orang dewasa diibaratkan seperti menulis di atas air yang akan cepat sirna
dan tidak membekas. Ungkapan itu tidak dapat diremehkan begitu saja karena
karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini
merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar
pendidikan mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter sejak dini akan
membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Anak-anak akan
tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika dapat tumbuh pada lingkungan yang
berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang
secara optimal, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Tidak
ada anak yang dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya
lah yang menjadikannya yahudi, nashrani dan majusi". (H.R. Imam
Muslim)
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi.
Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil
membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut,
pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai
dalam menjawab soal ujian, berotak
cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Banyak pakar bidang moral dan agama
yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan
dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal
tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya
kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas
pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari,
karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian.
Pendidikan karakter
bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik
menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk
berbuat baik, pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang,
malu bersikap malas, malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak
terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar
mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Di sinilah bisa
kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik pendidikan dengan karakter
peserta didik. Bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang
memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat
besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan
persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni
pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter,
sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Mengutip
pendapat sebagian ulama: ”At-tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā
tawhīda lahū, wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna
lahū wa lā tawhīda lahū, wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū,
lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.”[1]
Tauhid
mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid,
dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya,
maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid, dan syariat mewajibkan adanya
adab, maka barang siapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada
syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Dari pernyataan
di atas, sudahlah jelas, bahwasanya sebagai ajaran yang maha sempurna, Islam
sangat mengedepakan akhlak, adab, ataupun karakter. Betapa keras pernyataan
ulama di atas, sehingga orang yang tidak beradab, berakhlak, ataupun yang tidak
mempunyai karakter baik itu tidak ubah hal nya seperti orang yang tidak
bersyari’at, beriman, bahkan mungkin tidak beragama. Oleh karena itu, maka
penulisan tertarik untuk menulis karya ilmiah ini, dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian pendidikan karakter?
2. Apa dasar-dasar pendidikan karakter?
3. Apa dasar-dasar dalam pembentukan pendidikan
karakter?
4. Apa saja unsur-unsur pendidikan karakter?
5.
Bagaimana metode pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam di Indonesia?
6.
Apa tujuan dari pendidikan
karakter dalam perspektif Pendidikan agama Islam di Indonesia?
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
A. Pengertian Karakter
Istilah nation and
charakter building adalah istilah klasik dan menjadi kosa kata hampir
sepanjang sejarah modern Indonesia terutama sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928.
Istilah ini mencuat kembali sejak tahun 2010 ketika pendidikan karakter
dijadikan sebagai gerakan nasional pada puncak acara Hari Pendidikan Nasional
20 Mei 2010 yang dicanangkan oleh presiden RI[2].
Latar belakang munculnya pendidikan karakter ini dilatarbelakangi oleh semakin
terkikisnya karakter sebagai bangsa Indonesia, dan sekaligus sebagai upaya
pembangunan manusia Indonesia yang berakhlak budi pekerti yang mulia.
Istilah karakter secara
harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti: watak,
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan
secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana
manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri[3].
Karakter
adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas
seseorang atau sekelompok orang[4].
Definisi dari “The stamp of individually or group impressed by nature,
education or habit. Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga
diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik
dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah
bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak
berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki
standar norma dan perilaku yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter
adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk
nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat
atau warga negara secara keseluruhan[5].
B.
Dasar dan Landasan Pendidikan
Karakter di Indonesia dan Alasan Pentingnya Nilai Karakter Dalam Perangkat Pembelajaran
1.
Dasar Pendidikan Karakter
Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang
terpisah dari etika-etika Islam. Sebagai usaha yang identik dengan ajaran
agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan
pendidikan karakter di dunia barat. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup
penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam
memperkuat mralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap
otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat
sebagai motivasi perilaku bermoral.
Inti dari perbedaaan-perbedaan ini adalah
keberadaan wahyu ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam
islam. Akibatnya, pendidika karakter dalam Islam lebih sering dilakukan dengan
cara doktriner dan dogmatis, tidak secara demokratis dan logis.
Implementasi
pendidikan karakter dalam Islam, tersimpul dalam karakter pribadi Rasulullah
SAW. Dalam pribadi Rasul, tersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung.
Al-qur’an dalam surat Al-ahzab ayat 21 mengatakan:
Artinya: “Sesungguhnya
Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”.
Karakter atau Akhlak tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam
kehidupan manusia. Menghadapi fenomena krisis moral, tuduhan seringkali
diarahkan kepada dunia pendidikan sebagai penyebabnya. Hal ini dikarenakan
pendidikan berada pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas, dan secara moral memang harus berbuat demikian[6].
Pembinaan karakter dimualai dari individu, karena pada hakikatnya karakter itu
memang individual, meskipun ia dapat berlaku dalam konteks yang tidak
individual. Karenanya pembinaan karakter dimulai dari gerakan individual, yang
kemudian diproyeksikan menyebar ke individu-idividu lainnya, lalu setelah jumlah
individu yang tercerahkan secara karakter atau akhlak menjadi banyak, maka
dengan sendirinya akan mewarnai masyarakat. Pembinaan karakter selanjutnya
dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sedini mungkin sehingga
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui
pembinaan karakter pada setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban
masyarakat yang tentram dan sejahtera.
Dalam Islam,
karakter atau akhlak mempunyai kedudukan penting dan dianggap mempunyai fungsi
yang vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT di
dalam Al-qur’an surat An-nahl ayat 90 sebagai berikut[7]:
¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”.
Pendidikan
karakter dalam Islam diperuntukkan bagi manusia yang merindukan kebahagiaan
dalam arti yang hakiki, bukan kebahagiaan semu. Karakter Islam adalah karakter
yang benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai
dengan fitrahnya[8].
Islam merupakan
agama yang sempurna, sehingga tiap ajaran yang ada dalam Islam memiliki dasar
pemikiran, begitu pula dengan pendidikan karakter. Adapun yang menjadi dasar
pendidikan karakter atau akhlak adalah Al-qur’an dan Al-hadits, dengan kata
lain dasar-dasar yang lain senantiasa di kembalikan kepada Al-qur’an dan
Al-hadits. Di antara ayat Al-qur’an yang menjadi dasar pendidikan karakter
adalah surat Luqman ayat 17-18 sebagai berikut yang artinya[9]:
Artinya:
“Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa
yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam serta pendidikan
karakter mulia yang harus diteladani agar manusia yang hidup sesuai denga
tuntunan syari’at, yang bertujuan untuk kemaslahatan serta kebahagiaan umat
manusia. sesungguhnya Rasulullah adalah contoh serta teladan bagi umat manusia
yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai karakter yang mulia kepada
umatnya. Sebaik-baik manusia adalah yang baik karakter
atau akhlaknya dan manusia yang sempurna adalah yang memiliki akhlak
al-karimah, karena ia merupakan cerminan iman yang sempurna. Dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ َاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: “Perintahkanlah
anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh
tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka
apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud no. 495)
Dari hadits di atas, dapat di pahami bahwa, Memerintahkan
anak lelaki dan wanita untuk mengerjakan shalat, yang mana perintah ini dimulai
dari mereka berusia 7 tahun. Jika mereka tidak menaatinya maka Islam belum
mengizinkan untuk memukul mereka, akan tetapi cukup dengan teguran yang
bersifat menekan tapi bukan ancaman.
Jika mereka mentaatinya maka
alhamdulillah. Akan tetapi jika sampai usia 10 tahun mereka belum juga mau
mengerjakan shalat, maka Islam memerintahkan untuk memukul anak tersebut dengan
pukulan yang mendidik dan bukan pukulan yang mencederai. Karenanya, sebelum
pukulan tersebut dilakukan, harus didahului oleh peringatan atau ancaman atau
janji yang tentunya akan dipenuhi. Yang jelas pukulan merupakan jalan terakhir. Di sini dapat dipahami bahwa, menurut teori
psikologi, pada rentangan usia 0-8 tahun merupakan usia emas atau yang sering
kita dengar dengan istilah golden age, yang mana pada usia ini individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan karena itulah
maka usia dini dikatakan sebagai golden age (usia emas) yaitu usia yang sangat
berharga dibanding usia-usia selanjutnya, dan
usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik dalam diri individu.
Pada usia golden age, di sadari atau
tidak, perilaku imitatif pada anak sangat kuat sekali. Oleh karena itu, selaku
orang tua seharusnya memberikan teladan yang baik dan terbaik bagi anaknya,
karena jika orang tua salah mendidik pada usia tersebut, maka akan berakibat
fatal kelak setelah ia dewasa, ia akan menjadi sosok yang tidak mempunyai
karakter akibat dari pola asuh yang salah tadi.
2. Landasan
Pendidikan Karakter di Indonesia
Untuk
mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan
dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan
saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu
program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu telah ditegaskan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana
pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi
pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.[10]”
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana
yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal tersebut sudah tertuang pada
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)).
Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh
untuk melaksanakan secara operasional pendidikan karakter sebagai prioritas
program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, sebagaimana yang tertuang
dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010). Isi dari rencana aksi
tersebut adalah bahwa “pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati”.
Sementara itu, dalam INPRES No. 1 Tahun 2010 disebutkan
“penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai nilai
budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa”. Di lain sisi, dalam latar belakang UUSPN Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”[11].
Atas dasar itu, pendidikan
karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih
dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang
hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana
yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (psikomotor). Dengan
kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek
“pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan
dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang
baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau
kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan. Dengan demikian, jelaslah
sudah landasan dan alasan penerapan pendidikan karakter di Indonesia.
3.
Alasan Pentingnya Nilai Karakter Dalam Perangkat Pembelajaran
Pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam semua materi
pembelajaran dilakukan dalam rangka mengembangkan kegiatan intervensi.
Substansi nilai sesungguhnya secara eksplisit atau implisit sudah ada dalam
rumusan kompetensi (SKL, SK, dan KD) dalam Standar Isi (Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah), serta perangkat kompetensi masing-masing program studi di
pendidikan tinggi atau PNFI. Yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah
memastikan bahwa pembelajaran materi pembelajaran tersebut memiliki dampak
instruksional, dan, atau dampak pengiring pembentukan karakter.
Pengintegrasian nilai dapat dilakukan untuk satu atau lebih dari
setiap pokok bahasan dari setiap materi pembelajaran. Seperti halnya sikap,
suatu nilai tidaklah berdiri sendiri, tetapi berbentuk kelompok. Secara
internal setiap nilai mengandung elemen pikiran, perasaan, dan perilakiu moral
yang secara psikologis saling berinteraksi.
Karakter terbentuk dari internalisasi nilai yang bersifat
konsisten, artinya terdapat keselarasan antar elemen nilai. Sebagai contoh,
karakter jujur, terbentuk dalam satu kesatuan utuh antara tahu makna jujur (apa
dan mengapa jujur), mau bersikap jujur, dan berperilaku jujur. Karena setiap
nilai berada dalam spektrum atau kelompok nilai-nilai, maka secara psikologis
dan sosiokultural suatu nilai harus koheren dengan nilai lain dalam kelompoknya
untuk membentuk karakter yang utuh. Contoh: karakter jujur terkait pada nilai
jujur, tanggung jawab, peduli, dan nilai lainnya. Orang yang berperilaku jujur
dalam membayar pajak, artinya ia peduli pada orang lain, dalam hal ini melalui
negara, bertanggung jawab pada pihak lain, artinya ia akan membayar pajak yang
besar dan pada saatnya sesuai dengan ketentuan. Oleh karena itu, bila semua
pembayar pajak sudah berkarakter jujur, tidak perlu ada penagih pajak, dan
tidak akan ada yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dari prosedur pembayaran
pajak. Proses pengintegrasian nilai tersebut, secara teknologi pembelajaran
dapat dilakukan sebagai berikut[12].
a.
Nilai-nilai tersebut dicantumkan
dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
b.
Pengembangan nilai-nilai tersebut
dalam silabus ditempuh antara lain melalui cara-cara sebagai berikut:
1)
Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD) pada pendidikan dasar dan pendidikan memengah, atau
kompetensi program studi pada pendidikan tinggi, atau standar kompetensi
pendidikan nonformal.
2)
Menentukan apakah kandungan
nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam SK dan KD
atau kompetensi tersebut sudah tercakup di dalamnya.
3)
Memetakan keterkaitan antara
SK/KD/kompetensi dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan
dikembangkan.
4)
Menetapkan nilai-nilai atau karakter
dalam silabus yang disusun, dan mencantumkan nilai-nilai yang sudah tercantum
dalam silabus ke RPP.
5) Mengembangkan
proses pembelajaran peserta didik aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki
kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang
sesuai.
6) Memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami
kesulitan untuk internalisasi nilai mau pun untuk menunjukkannya dalam
perilaku.
C.
Dasar Pembentukan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai
baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk
disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil
tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk
dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis
religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif
itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan)[13]. Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai
sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang
sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa:
Pertama, kekuatan
spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân
dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada
manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);
Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang
sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang
kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang
tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia
yang memiliki kekuatan luar biasa.
Ketiga, sikap
dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan
spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan
konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis
itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan
amal saleh.
Energi positif
tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter,
yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan
beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja
akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality
(integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency
yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari
energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan
dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai
destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian,
pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani),
nilai-nilai material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu
pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi
positif, energi negatif terdiri dari:
Pertama, kekuatan thaghut.
Kekuatan thâghût itu berupa kufr (kekafiran), munafiq
(kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang
kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan
kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang
serba material (asfala sâfilîn);
Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah
(pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun
mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah
(jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah
selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût).
Ketiga, sikap
dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang
kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak
etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur
(congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal
sayyiât (destruktif).
Energi negatif
tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter
buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs
lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang
yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus
(hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan
kompetensi yang dimiliki.
D.
Unsur-Unsur
Karakter
Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan
sosiologis perlu dibahas dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri
manusia. adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan
dan kebiasaan[14].
Sikap seseorang akan dilihat orang lain dan sikap itu
akan membuat orang lain menilai bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian
juga halnya emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (Self
Conception).
1)
Sikap
Sikap seseorang biasanya adalah merupakan
bagian karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan karakter seseorang
tersebut. Tentu saja tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam hal tertentu sikap
seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya
menunjukkan bagaimana karakternya.
2)
Emosi
Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang
dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan
juga merupakan proses fisiologis.
3)
Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia
dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah”
atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting
untuk membangun watak dan karakter manusia. jadi, kepercayaan itu memperkukuh
eksistensi diri dan memperkukuh hubungan denga orang lain.
4)
Kebiasaan dan
Kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari faktor
sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap,
berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan. Sementara itu, kemauan
merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang.
Ada orang yang kemauannya
keras, yang kadang ingin mengalahkan kebiasaan, tetapi juga ada orang yang
kemauannya lemah. Kemauan erat berkaitan dengan tindakan, bahakan
ada yag mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang
untuk mencapai tujuan.
5)
konsep diri (Self
Conception)
Hal penting lainnya yang berkaitan dengan
(pembangunan) karakter adalah konsep diri. Proses konsepsi diri merupakan
proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar, tentang bagaimana karakter dan
diri kita dibentuk. Dalam proses konsepsi diri, biasanya kita mengenal diri
kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Citra diri dari orang lain
terhadap kita juga akan memotivasi kita untuk bangkit membangun karakter yang
lebih bagus sesuai dengan citra. Karena pada dasarnya citra positif terhadap
diri kita, baik dari kita maupun dari orang lain itu sangatlah berguna.
E.
Arah dan Metode Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam
Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari
konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu
memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang
lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam
terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan
pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah,
ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb[15].
Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan
pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); tarbiyah
menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada
asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan
pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
adversity quotient)[16].
Gambaran di atas menunjukkan metode pembelajaran yang
menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah
penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar
anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri.
Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan,
memampukan dan memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.
Untuk
mengembangkan kemampuan membaca, dikembangkan metode tilawah tujuannya agar
anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk
mengembangkan potensi fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lîm,
yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan
pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini
sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke
depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-nya adalah anak yang
memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan mujtahid. Ulul Albab
adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan
intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya untuk memahami fenomena ciptaan
Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid
adalah orang mampu memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya.
Hasilnya yaitu ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan
maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak
yang saleh (waladun shalih).
Pendayagunaan
potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan
melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan
mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada
guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.
Metode tarbiyah
digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam
hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa.
Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang
guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang
bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik
dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan
yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.
Metode ta’dîb
digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam diri anak
didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan
iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak
didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya
adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid
adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk
memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil
(2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu
(mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena
panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.
Metode tazkiyah
digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk
mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa
sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai
(bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang
(nafs al-mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah. Ulûl
arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan
menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang
Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa
mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).
Metode tadlrîb
(latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan
kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya
fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya adalah terbentuknya
anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid.
Mujahid adalah orang yang mampu memobilisasi sumber dayanya untuk
mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.
Sebenarnya metode
pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang
tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang
hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut
adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur hikmah,
penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh. Semua
pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu
pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan
berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi
suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu
sendiri [17].
F.
Tujuan
Pendidikan Karakter dalam Perspektif
Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Tujuan yang paling mendasar dari pendidikan
adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam
sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam
mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good
character).[18]
Tokoh pendidikan barat yang mendunia seperti Socrates,
Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang
disuarakan nabi Muhammad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adaah tujuan
yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan.
Begitu juga dengan Marthin Luther King
menyetujui pemikiran nabi Muhammad tesebut dengan menyatakan “Intelligence
plus character, that is the true aim of education”[19].
Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Selain itu, pendidikan karakter mempunyai
tujuan sebagai berikut:
1.
Mengembangkan
potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik.
2.
Memperkuat dan
membangun perilaku masyarakat yang multikultur.
3.
Meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Terlepas dari pandangan di atas, maka tujuan
sebenarnya dari pendidikan karakter atau akhlak adalah agar manusia menjadi
baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai
sesuatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan
sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya. Menurut Said Agil tujuan
pendidikan adalah “membentuk manusia yang beriman, berakhlak mulia, maju dan
mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu
beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.”
Dengan kata lain, dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif
pendidikan agama Islam di Indonesia itu adalah:
pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya
interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa
terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh
yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan
keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang
baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik
maka kita akan disegani orang. Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada,
meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak.[20]
Meskipun
dalam pelaksanaannya, tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri dapat
dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara benar dan menggunakan
media yang tepat. Pendidikan karakter
dilakukan setidaknya melalui berbagai media, yang di antarnya mencakup
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah,
dunia usaha dan media massa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin
“Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan,
budi pekerti, kepribadian atau akhlak.
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai
baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk
disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter
manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk
energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan
kebiasaan
Dalam Islam
terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan
pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah,
ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan
membaca; Ta’lim terkait dengan
pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); Tarbiyah
menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang di dalamnya ada asah, asih dan asuh; Ta’dîb
terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); Tazkiyah
terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); Tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
adversity quotient)
Tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan Islam di Indonesia itu adalah:
pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya
interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa
terpelihara dengan baik dan harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul majid, Dian andayani. 2010. Pedidikan
karakter dalam perspektif Islam. Bandung: Insan Cita Utama
Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Ahmad Zayadi, Abdul Majid. 2005. Tadzkirah
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Amru Khalid. 2008. Tampil Menawan Dengan
Akhlak Mulia. Jakarta: Cakrawala Publishing
Aunillah. 2011. Panduan menerapkan
pendidikan karakter disekolah. Jakarta: Trans Media
Fadlullah. 2008. Orientasi Baru Pendidikan
Islam. Jakarta: Diadit Media
Fatchul Mu’in. 2011. Pedidikan
karakter kontruksi teoritik dan praktek. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Mochtar Buchori, Character Building dan
Pendidikan Kita . Kompas
Rekonstruksi
Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
Saifuddin Aman. 2008. 8
Pesan Lukman Al-Hakim. Jakarta: Al Mawardi Prima Zubaedi. 2011. Design
pendidikan karakter. Jakarta: Kencana
[1]Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-Islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[2] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik
dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 323
[4] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam
perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 11
[6] Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 219
[7] Amru Khalid. Tampil menawan Dengan Akhlak Mulia. (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2008) , hlm. 37
[8] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam
perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 61
[9] Ahmad Zayadi, Abdul Majid. Tadzkirah Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 178
[10] Ibrahim Bafadal dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses
pada tanggal 01 April 2012
[11] Ulfiarahmi dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Policy%20Brief%20Edisi%204. Yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[12] Ulfiarahmi dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal 01 april 2012
[13]Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[14] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik
dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168
[16] Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[17] Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk
Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM
Press, 2010 diakses pada 06 maret
2012
[18] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam
perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29
[19] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam
perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29
hmmm, bagos2, TINGKATKAN!!!
BalasHapusIya, Tp jgn lupa kasi semangat yah, hehehehehehe
BalasHapusho'oh say, SEMANGADDD ^_^
BalasHapusMAKASIHHHH...
BalasHapusThanks gan udah share , blog ini sangat bermanfaat .............................
BalasHapusbisnistiket.co.id
Sangat membantu, bisa buat referensi ne... mksh dah share. Amankan... :)
BalasHapusThanks.,
BalasHapusAlhamdulillah semoga berkah ilmunya
BalasHapusIjin baca admin
Terima kasih banyak semoga bermanfaat
Aamiin